Polemik Investasi Dana Haji
Oleh : Fadil Abidin
Presiden Joko Widodo pada saat melakukan pelantikan Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara (26/7/2017), meminta agar tabungan haji yang nilainya sangat besar dikelola dan dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini bertujuan agar dana tabungan haji Indonesia hasilnya bisa lebih produktif mengingat lamanya waktu pemberangkatan jemaah calon haji.
Pernyataan ini seakan menjadi pemicu bagi para politisi untuk menyerang Presiden Jokowi dengan isu agama (Islam). Padahal ini baru pernyataan, wacana pun belum karena belum ada pembahasan lebih lanjut. Padahal sebelum ada UU No.34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, dana haji ini tidak jelas siapa saja yang bisa menggunakannya dan untuk apa.
Sebelum berlakunya UU di era Jokowi tersebut, dana haji bisa menjadi “pinjaman tak berbunga dan tak bersyarat”. Jika ada pihak yang membutuhkan dana tersebut konon bisa “dipinjam” lalu “dikembalikan” secara diam-diam tanpa imbal balik ke tabungan haji. Kini ketika Presiden Jokowi menawarkan keterbukaan dan transparansi soal penggunaan dana haji, mengapa banyak pihak menjadi nyinyir?
Presiden Jokowi menilai dana haji yang mencapai Rp 90 triliun sebaiknya diinvestasikan di tempat aman, sehingga menguntungkan, seperti pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, hasil investasi yang aman dapat mensubsidi biaya haji yang diharapkan dapat menekan ongkos serta meningkatkan kualitas pelayanan haji.
Lebih lanjut Presiden menuturkan, skema pengelolaan haji seperti ini juga dilakukan oleh negara-negara lain seperti Malaysia. Karenanya, Presiden sudah menginstruksikan BPKH untuk belajar dari pengelolaan dana haji di Malaysia yang dianggapnya sudah cukup mumpuni.
Indonesia memang tertinggal jauh dengan Malaysia dalam hal pengelolaan dana haji. Selama ini seolah-olah adalah hal yang tabu jika dana haji digunakan untuk hal-hal yang di luar urusan haji. Tapi pada praktiknya, dana haji ini kerap pula digunakan para penguasa sebelumnya untuk kepentingan tertentu secara diam-diam dan tidak transparan.
Tabung Haji
Di Malaysia pembayaran calon jamaah haji reguler diharuskan melalui satu pintu, yaitu Tabung Haji. Lembaga ini dibentuk sejak 1963 dan seluruh dana diinvestasikan melalui sistem syariah di berbagai bidang.
Hasil investasi dari Tabung Haji terutama dipergunakan untuk mensubsidi agar ongkos haji lebih murah dengan standar ONH Plus. Tabung Haji digunakan untuk meningkatkan pelayanan haji. Misalnya, memberi bimbingan persiapan haji (manasik) selama 6 bulan. Memberi fasilitas pemondokan yang lebih nyaman dan dekat dengan Masjidil Haram.
Malaysia juga telah berhasil mendirikan rumah sakit di Mekkah dan Madinah serta pusat kesehatan di Mina dan Arafah bagi jemaah hajinya. Mengelola pengaturan pesawat udara, akomodasi, keamanan, dan jaminan kesehatan bagi jemaah haji. Untuk menghindari KKN, maka pihak pemerintah Malaysia melarang para petugas Tabung Haji turut melaksanakan ibadah haji, dan dilarang pula menjadi perantara bagi pengadaan makanan (katering) maupun barang keperluan jamaah haji.
Dibanding dana Haji Indonesia yang mencapai Rp 90 Triliun, maka Tabung Haji Malaysia hanya mengelola dana sekitar Rp 19,8 Triliun. Tapi walapun begitu, dana haji yang dikelola oleh Lembaga Tabung Haji (semacam BUMN) benar-benar digunakan untuk kemaslahatan umat di sektor-sektor produktif. Bukan sekadar disimpan bank dan tak disalurkan seperti di Indonesia.
Tabung Haji pun mengelola dana ini dengan sebaik-baiknya sesuai prinsip-prinsip syariah dan untuk kemaslahatan umat. Karena pengelolanya adalah berbentuk badan usaha, maka pengembangan Tabung Haji juga menggunakan pendekatan bisnis. Mereka menggunakan dana haji untuk berinvestasi di bidang teknologi, perkebunan, real estate, infrastruktur, konstruksi, bahkan pasar modal dengan memiliki saham di Bank Islam Malaysia.
Saat krisis keuangan dunia tahun 1998, Tabung Haji turut andil dalam menyelamatkan keuangan dan perekonomian sehingga pemerintah Malaysia tidak perlu berhutang kepada IMF atau Bank Dunia. Tabung Haji turut mengucurkan bail-out ke sejumlah perusahaan agar tak bangkrut. Padahal membail-out perusahaan-perusahaan yang nyaris bangkrut ini beresiko tinggi. Tapi untuk kebaikan masyarakat, mereka berani melakukannya. Tabung Haji Malaysia ini pun akhirnya berhasil menjadi institusi keuangan non-bank berbasis syariah terbesar di dunia.
Polemik
Mungkin sudah menjadi karakter bangsa ini yang hobinya berpolemik dan berdebat, tapi sedikit bekerja nyata. Negara tetangga sudah lama bekerja dan berkarya banyak hal dari pengelolaan dana haji, tapi kita masih berpolemik tak berkesudahan.
Padahal menginvestasikan dana haji itu bukanlah sesuatu yang haram atau melanggar hukum selama penggunaannya sesuai UU. Soal menginvestasikan di sektor infrastruktur adalah salah satu pilihan dari banyak pilihan. Infrastruktur itu banyak macamnya, dan mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat luas.
Pembangunan jalan tol, jembatan, pelabuhan, bandar udara, sektor transportasi, dsb, secara tidak langsung juga akan mempermudah jamaah haji di dalam negeri ketika akan berkumpul menuju asrama haji di ibukota provinsi atau embarkasi pemberangkatan. Coba kita bayangkan para jamaah haji yang berasal dari pelosok. Tapi karena infrastruktur jalan, jembatan, transportasi yang buruk, mereka harus “menderita” sepanjang perjalanan menuju ibukota provinsi. Sesampai di asrama haji pun mereka banyak yang kelelahan dan jatuh sakit.
Majelis Ulama Indonesia (MU), Nahdlatul Ulama (NU), ormas-ormas Islam lainnya, para pakar ekonomi syariah, dan sebagainya sebenarnya telah memberi lampu hijau kepada pemerintah agar mengelola dana haji ini sesuai UU.
Permasalahannya adalah, wacana investasi dana haji ini kemudian dibelokkan oleh para politisi untuk mengambil keuntungan politik. Semuanya dijadikan polemik agar menimbulkan pertentangan di masyarakat. Saat ini apa pun bisa dijadikan isu karena menjelang Pemilu, dan yang paling seksi dan laku dijual adalah isu-isu masalah agama. ***