Ahok Akhirnya Memilih Jalur Independen
Oleh : Fadil Abidin
Dimuta dalam OPINI Harian Analisa Medan, 10 Maret 2016
Dikutip dari laman temanahok.com, pada Minggu malam (6/3/2016) seluruh pendiri Teman Ahok (perkumpulan yang mendukung Ahok) mendatangai kediaman Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok di Pantai Mutiara, Jakarta. Tujuan mereka hanya satu, yaitu meminta Ahok segera memutuskan nama bakal calon wakil beliau di Pilkada DKI 2017 nanti.
Mereka menyampaikan bahwa waktu sudah semakin sempit sehingga mau tidak mau Ahok harus dapat menyodorkan nama calon wakilnya malam itu juga. Teman Ahok sadar dari awal bahwa proses ini bukan hanya mengumpulkan dukungan, tetapi juga menginput formulir ke database agar bisa direkap dengan rapi ke form KPU, disusun berdasarkan kelurahan, dan penggandaan dukungan. Mereka ingin semuanya rapi dan tidak terburu-buru supaya KPU juga lebih mudah melakukan verifikasi terhadap dukungan ini.
Dalam pembicaraan tersebut Ahok menyatakan bahwa idealnya beliau tetap berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, wakilnya saat ini yang berasal dari PDIP. Sebab Djarot sudah teruji sebagai wakil gubernur dan sejauh ini dinilai cocok dengan Ahok. Namun PDIP sejauh ini belum memberikan sinyal dukungan. Karena tidak mendapatkan kepastian soal itu, Ahok akhirnya menyodorkan nama Heru Budi Hartono, kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemda DKI.
Ahok mempertaruhkan banyak hal jika tetap memilih bersama Teman Ahok untuk maju sebagai calon gubernur dari jalur nonpartai politik atau independen (perseorangan). Bagaimana pun tentu lebih mudah melalui partai politik. Kendaraan tersedia, dukungan politik bisa didapatkan, dan mobilisasi massa mudah dilakukan. Sebaliknya memilih jalur independen sangatlah penuh risiko.
Data dukungan berupa fotokopi KTP dan tanda tangan asli harus betul-betul disiapkan secara rapi agar bias lolos verifikasi KPUD. Dan yang terberat bagi Ahok, hal ini akan membuka front perseteruan dengan seluruh partai politik. Kita tahu bahwa partai politik punya jaringan di seluruh level pemerintahan dan lembaga negara. Sebuah kekuatan yang bisa saja digunakan untuk menekan dan menghadang pencalonan, bahkan setelah itu (jika menang), Pak Ahok pun akan tetap ‘direcoki’ oleh parlemen daerah yang berasal dari parpol.
Dengan keputusan tersebut, maka mulai hari itu, dalam formulir dukungan Teman Ahok akan tercantum nama Heru Budi Hartono sebagai calon wakil untuk Basuki Tjahaja Purnama. Teman Ahok menargetkan pengumpulan 1 juta dukungan KTP warga DKI dan memantapkan langkah memilih jalur independen untuk maju di Pilkada DKI 2017.
Kreativitas Anak Muda
Setelah memilih jalur independen, maka Teman Ahok boleh dibilang sebagai “kendaraan” politik bagi Ahok untuk memenangkan kursi DKI 1. Teman Ahok adalah kumpulan anak-anak muda relawan pendukung Ahok. Sudah hampir setahun lalu mereka bergerak mengumpulkan KTP warga DKI untuk mendukung Ahok. Caranya pun beragam dan kreatif, mereka mendirikan posko-posko, posko rumah, posko keliling, posko di tempat keramaian, posko di pusat perbelanjaan, mencari dukungan dari rumah ke rumah, bahkan mereka juga menerima fotokopi KTP warga DKI melalui pos atau jasa pengiriman.
Perlu diketahuibahwa pengumpulan KTP ini tidak cukup dengan hanya mengumpulkan fotokopi KTP saja. KPU mensyaratkan harus ada tandatangan basah dan hardcopy (bukti fisik) pernyataan dukungan. Jadi harus ada formulir yang diisi dan ditandatangani terlebih dahulu oleh pemberi dukungan. Formulir dukungan ini dapat diunduh di link temanahok.com, setelah diisi, ditandatangani, sertakan fotokopi KTP, dan dapat dikirim melalui pos atau jasa pengiriman.
Mereka juga memanfaatkan jejaring media sosial untuk mengumpulkan dukungan lewat Facebook, Twitter, dsb. Pendanaan mereka dapatkan dari sumbangan sukarela yang tidak mengikat, penjualan merchandise, dan kegiatan pengumpulan dana lainnnya. Teman Ahok sebagai perkumpulan anak-amak muda memang kreatif dalam mencari dukungan. Model-model seperti ini bisa menjadi contoh bagi calon-calon lain yang memilih maju lewat jalur indpenden dalam Pilkada.
Pertaruhan Risiko
Sejauh ini hanya Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang baru memberi dukungan secara politik. Dukungan ini tidaklah cukup, mengingat perolehan kursi Partai Nasdem di DPRD DKI Jakarta tidak cukup banyak. Partai-partai lain tampaknya sengaja “menggantung” Ahok agar mempunyai posisi tawar yang tinggi kepada Ahok. Sementara Ahok sangat jelas tidak mau didikte oleh kekuatan parpol yang ada.
Ahok menyadari bahwa keputusan maju lewat jaur independen berarti dia siap mengambil risiko yang sangat besar. Jika Teman Ahok tidak berhasil mengumpulkan target dukungan yang disyaratkan UU, maka pencalonan Ahok akan gugur. Ahok akan kalah sebelum bertarung.
Selama ini Teman Ahok telah mengklaim memperoleh sekitar 700 ribu dukungan untuk Ahok sebagai calon gubernur. Tapi sebagai catatan, pendaftaran calon independen akan dibuka pada Juli 2016 dan di formulir itu harus tertera dukungan kepada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Maka tidak ada jalan lain, dukungan sekitar 700 ribu KTP dianggap hangus. Teman Ahok harus bekerja lebih keras dan memulainya dari awal lagi untuk mencari dukungan buat Ahok-Heru sebagai gubernur dan wakil gubernur. Mereka harus bekerja dua kali dan menyebarkan formulir lagi pada masyarakat, apakah akan tetap mendukung Ahok dengan wakilnya Heru Budi Hartono.
Sebenarnya berapa syarat dukungan KTP agar Ahok-Heru dapat melaju lewat jalur independen? Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan bernomor 60/PUU-XIII/2015 yang dibacakan pada 29 September 2015, telah meringankan syarat dari calon independen. Jika sebelumnya syarat dukungan calon independen berdasarkan persentase penduduk, kini cukup berdasarkan persentase daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu sebelumnhya.
MK mengubah Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal tersebut berbunyi: Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2 juta jiwa harus didukung paling sedikit 10 persen.
b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 jiwa sampai dengan 6 juta jiwa harus didukung paling sedikit 8,5 persen. c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih 6 juta jiwa sampai dengan 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 7,5 persen. d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 6,5 persen; dan jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.
Ketentuan di atas, diubah oleh MK. Kata penduduk diganti dengan daftar pemilih tetap. Sehingga dampaknya, persentase yang dikumpulkan seorang calon independen jadi lebih ringan. Contoh, dengan aturan sebelum putusan MK, maka Ahok harus mengantongi dukungan KTP 7,5 persen dari 10 juta penduduk atau 750 ribu fotokopi KTP. Berdasarkan DPT Pilkada DKI 2012 pemilik hak suara di Jakarta kurang lebih Rp 7 juta jiwa. Dengan putusan MK ini maka Ahok minimal harus mengantongi KTP sebanyak 7,5 persen dari 7 juta DPT, 525 ribu fotokopi KTP.
Langkah Strategis
Ahok memang berani menanggung risiko, mulai tanggal 7 Maret 2016 beliau menetapkan hati berpasangan dengan Heru Budi Hartono untuk melaju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017-2022 melalui jalur independen. Teman Ahok sebagai mesin politik harus lebih bekerja keras lagi. Mereka harus mulai mengumpulkan sedikitnya 525 ribu fotokopi KTP warga DKI beserta formulir dukungan yang ditandatangani untuk 150 hari ke depan
Ahok sebaiknya tidak ragu akan kerja dari Teman Ahok, kini Partai Nasdem juga membantu dengan membentuk Muda-Mudi Ahok. Ahok harus tetap berani, tetap teguh, dan tidak ragu untuk memilih jalur independen.
Deklarasi Ahok yang memilih jalur independen mempunyai langkah strategis. Langkah ini akan membuat calon “lawan-lawan” Ahok akan terpencar-pencar dan tidak terpolarisasi menjadi satu kutub. Partai Gerindra, Partai Golkar, PDIP, PAN, PPP, Partai Demokrat, atau PKB akan mengajukan calonnya masing-masing. Mungkin Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Adhyaksa Dault, Anis Matta, Fadel Muhammad, Rieke Dyah Pitaloka, atau Ahmad Dhani akan maju. Sehingga persaingan tidak satu lawan satu, tapi diikuti oleh beberapa kontestan, dan ini akan menjadi sangat seru.
Kekuatan dan marwah partai politik dipertaruhkan seandainya Ahok berhasil lolos verifikasi menggunakan jalur independen. Sudah pasti parpol tidak mau kehilangan muka dikalahkan oleh rakyat bersatu tanpa partai. Mau dibawa ke mana kewibawaan parpol. Artinya untuk apa partai didirikan kalau tidak mampu memenangkan Pilkada Jakarta yang menjadi barometer kesukesan pilkada nasional.
Warga Jakarta semakin cerdas, mereka tidak mudah terprovokasi soal-soal yang menyangkut isu SARA, justru calon yang mengangkat isu ini tidak akan populer. Poin yang ingin disampaikan disini adalah siapapun yang ditakdirkan menjadiGubernur DKI Jakarta 2017-2022 adalah pemimpin terbaik. Pilihan warga tidak akan salah, semuanya adalah pemenang, dan yang kalah adalah pihak-pihak yang sangat berambisi dengan menghalalkan segala macam cara dan mereka gagal mencapai tujuannya. ***