Senjakala Lembaga Survei
Oleh : Fadil Abidin
Survei itu sebagian berupa sains, sebagian lagi merupakan seni, ujar Robert Jones, peneliti dari PRRI Washington, Amerika Serikat. Sebuah survei bisa jadi menjadi benar, dan bisa saja menyimpang dari kenyataan. Dalam survei politik, tensi politik yang tinggi bisa mengakibatkan ketidakpastian hasil survei.
Kisruh perbedaan hasil quick count pada Pilpres 2014 lalu sebenarnya telah menjadi preseden buruk bagi seluruh lembaga survei. Walaupun sebenarnya beberapa lembaga survei yang “menyimpang” tersebut diduga bagian dari timses salah satu capres. Tapi dampak dari penyimpangan tersebut, rakyat Indonesia sempat terpecah menjadi dua kubu. Apalagi beberapa stasiun tv menyiarkan hasil survei yang menyimpang tersebut.
Kini, suhu politik menjelang Pilkada DKI Jakarta pada Februari 2017 terus memanas. Selain munculnya perang program serta isu yang dilemparkan antar calon pada saat kampanye, lembaga survei juga turut memanaskan situasi yang ada. Lembaga survei saling menggiring opini publik kepada salah satu calon, sehingga calon tertentu terlihat lebih unggul dari calon lainnya. Kendati demikian, hasil survei tidaklah bisa menjadi patokan baku akan kemenangan salah satu calon.
Kesalahan suatu lembaga survei dalam memprediksi kemenangan bukan berarti lembaga survei tersebut sengaja berbohong atau memanipulasi hasil survei. Ada banyak faktor yang memungkinkan lembaga survei salah memprediksi kemenangan pemilihan.
Hasil survei bisa menjadi bias, keliru, salah, menyimpang, tidak akurat, bahkan tidak valid jika ada ketegangan politik yang sangat tinggi, tingginya swing voters atau undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan). Munculnya kandidat yang kontroversial, tidak adanya calon atau isu yang menonjol, terjadinya perubahan yang drastis dalam ekonomi dan politik, serta kondisi psikologis masyarakat yang cenderung “berbohong” atau menyembunyikan pilihan, tidak mau mengungkapkan pilihan, serta alasan lainnya.
Responden
Secanggih apapun metode, sebanyak apapun data, dan sebanyak apapun responden atau orang yang disurvei, yang menentukan adalah tingkat kejujuran dari responden. Saat ini sedang tren “kebohongan” responden terhadap survei. Ketika disurvei pilihannya A, tapi ketika di bilik suara, pilihan sebenarnya adalah B.
Referendum Britain Exit (Brexit) yaitu referendum untuk menentukan Inggris tetap bertahan atau keluar dari Uni Eropa adalah bukti responden bisa saja berbohong terhadap survei. Nyaris semua lembaga survei di Inggris menunjukkan suara anti-Brexit agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa lebih unggul ketimbang suara pro-Brexit. Tapi hasil referendum 23 Juni 2016 lalu membuktikan bahwa survei-survei tersebut tidaklah benar. Pro-Brexit justru memenangkan suara 52 persen.
Mengapa hasil survei berbeda dengan hasil referendum? Ternyata orang-orang yang disurvei “berbohong”, atau tidak menunjukkan pilihan yang sebenarnya. Hal ini diakibatkan jika memilih pro-Brexit dianggap tidak populer, dianggap rasis, anti-imigran, anti-globalisasi, dan tuduhan macam-macam lainnya. Akibatnya ketika disurvei mereka berbohong.
Pilpres Amerika Serikat Nopember 2016 lalu juga bernasib sama. Mayoritas lembaga survei di Amerika yang sudah punya nama, kredibel, dan selalu tepat dalam hasil survei, juga terkecoh oleh para respondennya. Mayoritas lembaga survei di Amerika menyatakan capres Donald Trump akan kalah telak melawan Hillary Clinton. Bahkan survei yang dibuat The New York Times meramal, peluang Hillary untuk menang sekitar 85 persen, bahkan HuffPost Pollster menghitung, peluang Hillary menuju Gedung Putih 98 persen. Artinya, nyaris“mission: impossible” bagi Trump untuk menjadi Presiden Amerika.
Tapi apa yang terjadi? Donald Trump menjungkalkan semua hasil lembaga survei tersebut. Donald Trump memenangi pilpres Amerika. Bagaimana lembaga-lembaga survei di Amerika yang besar, sebagai pelopor lembaga survei di dunia, terpercaya, kredibel, dan didukung dana yang besar bisa melakukan kekeliruan yang sangat memalukan?
Dalam kasus kemenangan Trump, banyak responden yang “berbohong”. Di survei mereka memilih Hillary, tapi ketika di bilik suara memilih Trump. Para responden memilih berbohong terhadap dukungannya akibat takut dituduh sebagai pendukung calon presiden yang rasis, anti-imigran, anti-Islam, kasar, bermulut “comberan”, suka menghina, suka melecehkan perempuan, snob, dan beberapa tuduhan miring lainnya. Trump memang dikenal sebagai figur kontroversial karena beberapa ucapannya yang membuat citranya menjadi buruk.
Hasil Survei
Kasus Brexit dan pilpres Amerika sebenarnya bisa menjadi pelajaran bagi lembaga-lembaga survei agar lebih cermat mengamati fenomena deviasi survei ini. Terutama lembaga yang tengah menyurvei elektabilitas calon untuk Pilkada DKI 2017 mendatang.
Kasus dugaan penistaan agama yang menjerat petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memang telah membuat elektabilitasnya menurun drastis. Tetapi jika berkaca pada kasus Trump, kasus penistaan agama tersebut membuat para pemilih Ahok menjadi “pemilih diam” atau silent voters yang enggan mengungkapkan dukungannya.
Hal ini disebabkan para pemilih tersebut takut akan dicap sebagai pendukung orang yang menjadi tersangka atau pun orang yang dianggap telah menistakan agama. Pemilih muslim takut distigmatisasi sebagai “murtad” karena memilih orang “kafir”, dan tuduhan macam-macam lainnya. Akibatnya mereka berbohong terhadap survei.
Akibat kasus penistaan agama tersebut, swing voters yaitu warga Jakarta yang belum menentukan pilihan meningkat menjadi di atas 20 persen. Fenomena tersebut sebagai akibat semakin massifnya pemberitaan tentang kasus Ahok. Daripada bingung memilih siapa, akibatnya mereka memilih abstain atau belum memutuskan pilihan ketika ditanya lembaga survei.
Kegaduhan politik, tensi sosial, sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil survei. Elektabilitas para kandidat calon gubernur DKI Jakarta bisa dipengaruhi hal-hal tersebut.
Adanya demo 4 November 2016 (411) dan 2 Desember 2016 (212) beberapa waktu yang lalu, tentunya membuat para pemilih DKI terpengaruh. Bahkan ada lembaga survei yang menyatakan elektabilitas Ahok-Djarot tinggal 10 persen pascademo tersebut. Tetapi tren tersebut hanya bersifat temporal. Buktinya, setelah beberapa hari kemudian hasil survei menunjukkan peningkatan elektabilitas yang cukup signifikan.
Apapun hasil survei, janganlah sampai dianggap benar secara mutlak. Sebab, lembaga survei memang berupaya untuk menampilkan realita yang ada. Tetapi akibat dipengaruhi oleh beberapa faktor, hasil survei bisa berbeda dari realita. Hasil survei yang ditampilkan ke publik adalah fenomena sesaat yang sedang tren terjadi di tengah masyarakat.
Kekeliruan lainnya lembaga survei adalah kerap melakukan survei tanpa memperhatikan waktu, sistuasi, dan kondisi psikologis responden. Akurasi hasil survei patut dipertanyakan ketika sedang terjadinya demo atau beberapa hari setelahnya. Responden yang sedang galau, di bawah tekanan atau hujatan, bingung, takut, cemas, atau marah, bukanlah responden yang baik.
Selain itu pula, kegagalan memprediksi juga terjadi akibat banyaknya lembaga survei yang terlalu malas untuk memeriksa validitas data di hulu. Seharusnya, jika terjadi perubahan yang mendadak terhadap hasil survei, maka harus dikroscek lebih lanjut kenapa perubahan itu terjadi. Banyak lembaga survei yang malas mengecek kembali validitas data mereka di hulu dan langsung memilih mengolah data yang mereka dapat untuk segera dipublikasikan.
Metode survei yang dilakukan lembaga survei di Indonesia dianggap tidak masuk akal. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan saat melakukan survei sangat tidak logis dan bisa membuat hasil survei itu sendiri menjadi kacau. Contohkan, biasanya para responden akan ditanya dengan pertanyaan, "Apabila Pilkada DKI Jakarta terjadi hari ini, manakah pasangan calon yang akan anda pilih untuk menjadi gubernur DKI Jakarta?"
Pertanyaan tersebut secara psikologis sama saja dengan menanyakan pertanyaan apakah anda siap untuk mati bunuh diri hari ini? Harus diciptakan metode survei yang baru dan jenis pertanyaan yang baru. Cara-cara yang sekarang sudah usang dan hasilnya pun menjadi tidak dipercaya.
Dalam tahap ini, lembaga-lembaga survei sebenarnya telah memasuki fase senjakala, yaitu tahap akhir dari kejayaan memasuki tahap awal keruntuhan kepercayaan. Hasil survei tidak bisa lagi dipercaya. Apalagi jika ada indikasi keberpihakan, afiliasi atau didanai oleh pihak yang ikut berkompetisi. Hasil survei kemudian hanya dipandang sebagai propaganda atau kampanye pencitraan terhadap seorang kandidat. ***