Sengkarut Ketegangan Malaysia - Korut
Oleh : Fadil Abidin
Sengkarut dalam kamus bahasa Indonesia berarti lilit-melilit, banyak seluk-beluknya, kait-berkait, tidak karuan, dan tidak menentu. Negara jiran Malaysia kini tengah menghadapi ketegangan diplomatik dengan Korea Utara (Korut). Ketegangan ini bermula dari kasus pembunuhan Kim Jong Nam, kakak tiri dari pemimpin Korut, Kim Jong Un.
Kasus pembunuhan ini pun menjadi kait-berkait tidak menentu. Polisi Malaysia sejauh ini telah menangkap beberapa orang yang diduga terlibat kasus tersebut yang membawa dokumen identitas dari Korea Utara, Malaysia, Indonesia dan Vietnam.
WNI asal Indonesia, Siti Aisyah dalam pengakuannya menyatakan bahwa ia diperalat sebagai pemeran dalam acara komedi reality show untuk “mengerjai” korban dengan menyemprotkan sejenis cairan. Tapi ada sumber-sumber berita yang berspekulasi bahwa Siti Aisyah adalah agen spionase Korut.
Kasus ini semakin viral karena melibatkan senjata kimia pemusnah massal yaitu gas saraf VX. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan gas saraf VX sebagai zat yang sangat berbahaya dan dilarang penggunaannnya sebagai senjata. Penggunaan zat ini dilarang dalam beberapa kesepakatan internasional, diantaranya dalam Konvensi Senjata Kimia pada tahun 1993.
Kode nama VX atau venomous agent x ialah senyawa organofosfat yang termasuk dalam salah satu zat kimia yang paling mematikan. Bardasarkan Pusat Pengendalian Penyakit dan Pencegahan Amerika Serikat (CDC), VX menjadi senjata kimia yang paling mematikan dalam peperangan. Zat ini berbentuk cairan, berwarna jingga, tidak berasa dan tidak berbau ini mempunyai kekuatan 100 kali lebih mematikan daripada gas Sarin.
VX bekerja dengan cara meresap kedalam kulit, dan kemudian mengganggu transmisi cara kerja saraf. Individu yang terpapar zat ini akan mengalami kejang-kejang, mata perih, hilang kesadaran, gangguan pernafasan. Dalam pemakaian dosis kecil, zat ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan, diare, mual, serta mengalami peningkatan detak jantung.
Sejarah penggunaan gas saraf VX sebagai senjata kimia dilaporkan pernah digunakan secara luas selama pembantaian di kota Kurdi, Halabja, Irak oleh rezim Saddam Hussein pada tahun 1988. Menurut pemberitaan berbagai media, pada 16 Maret 1988, pesawat penyerang menghujani kota Halabja dengan tabung-tabung senjata kimia termasuk VX, dan menewaskan antara 3.500 orang hingga 5.000 orang, hanya dalam hitungan menit. Sekitar 7.000 hingga 10.000 orang lainnya dilaporkan mengalami luka-luka, lumpuh atau menderita masalah kesehatan jangka panjang.
Otopsi
Sisa-sisa gas saraf VX ternyata ditemukan pada mata dan wajah Kim Jong Nam, yang tewas usai diserang dua wanita, WNI dan warga negara Vietnam, di tengah keramaian Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) pada 13 Februari lalu. Otoritas Malaysia kini tengah menyelidiki bagaimana racun terlarang VX bisa masuk ke Malaysia dan digunakan dalam pembunuhan.
Permasalahan semakin sengkarut ketika pemerintah Korut menyatakan bahwa yang tewas tersebut bukan Kim Jong Nam, tetapi Kim Chol, sesuai paspor yang ia bawa ketika memasuki Malaysia. Korut bersikeras agar segera menyerahkan jenazah tersebut, tapi pemerintah Malaysia berdasarkan hukum yang berlaku, wajib menyelidiki kasus pembunuhan tersebut termasuk melakukan otopsi.
Pemerintah Malaysia sendiri tampaknya belum mempunyai data pembanding, apakah korban Kim Jong Un atau Kim Chol. Ada kerancuan identitas di sini. Sementara pemerintah Korut tampaknya sengaja menutupi kasus ini dengan cara tidak memberikan data DNA dari keluarga korban, meminta kasus ini tidak dipublikasikan dan segera ditutup. Korea Selatan menuding rezim Korut di balik pembunuhan Kim Jong Nam, yang merupakan putra tertua Kim Jung Il sebagai usaha untuk menghilangkan persaingan politik.
Malaysia yang berdaulat, baik secara hukum dan politik, tidak mau menuruti hal tersebut. Pemerintah Malaysia tetap melakukan penyelidikan dan otopsi. Ketegangan antara Malaysia dan Korut pun terjadi. Pyongyang keberatan atas otopsi jasad korban, namun Malaysia mengatakan mereka hanya mengikuti prosedur. Bahwa pembunuhan itu terjadi di wilayah hukum Malaysia, maka adalah tanggung jawab pemerintah Malaysia untuk melakukan investigasi.
Kang Chol, duta besar Korea Utara untuk Malaysia, mengatakan bahwa Malaysia mungkin "mencoba untuk menyembunyikan sesuatu", bahwa otopsi dilakukan "secara sepihak dan tanpa kehadiran pihak Korut" dan menganggap otopsi tersebut tidak sah. Kang Chol bahkan menyatakan negaranya tidak mempercayai cara Malaysia menangani penyelidikan kasus pembunuhan tersebut. Dubes Korut malah menuduh Malaysia berkomplot dengan kekuatan asing.
Saling Usir Dubes
Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Haji Aman menyatakan Malaysia menuntut Dubes Korut itu untuk meminta maaf atas pernyataannya, tetapi Kang Chol malah mengabaikannya. "Malaysia akan bereaksi keras atas penghinaan apa pun atau upaya apa pun yang merusak reputasi Malaysia," tegas Anifah. Atas komentar-komentar yang pantas tersebut, Pemerintah Kerajaan Malaysia (4/3/2017), mengusir Duta Besar Korut di Kuala Lumpur, Kang Chol, agar segera kembali ke negaranya paling lama dalam waktu 48 jam dengan mencapnya sebagai persona non grata. Sebutan tersebut adalah status paling buruk untuk diplomat yang tidak disenangi atau paling tidak disukai oleh suatu negara sahabat. Ketegangan diplomatik pun terjadi.
Korut pun membalas dengan hal yang sama. Pemerintah Korut (6/3/2017), menyatakan mengusir Duta Besar Malysia dari Pyongyang. Kemenlu Korut telah mengeluarkan sikap dengan menetapkan Duta Besar Malaysia dalam status persona non grata.
Saling mengusir dubes atau aksi resiprositas yaitu aksi timbal balik saling membalas perlakuan macam ini adalah hal normal dalam hubungan diplomatik, dan hal ini dibenarkan dalam hukum internasional. Tapi aksi ini ternyata tidak berhenti di sini saja.
Ketegangan diplomatik menjalar kepada persoalan warga negara. Pemerintah Korut mengeluarkan kebijakan yang melarang warga Malaysia keluar dari wilayahnya. PM Malaysia Najib Razak mengecam keras aksi tersebut dan menyebut hal itu sebagai aksi penyanderaan yang mengabaikan hukum internasional dan norma diplomatik. Pemerintah Malaysia pun bertekad melindungi warga negaranya dan tidak akan ragu-ragu untuk mengambil seluruh langkah yang diperlukan, ketika warganya terancam.
Setelah Korut melarang setiap warga Malaysia untuk meninggalkan negara itu, Malaysia pun membuat langkah yang sama, yakni mencegah dan menangkal warga Korut yang ingin kembali ke negara mereka. Kemenlu Malaysia menegaskan bahwa semua staf Kedutaan Besar Korut di Kuala Lumpur juga dilarang untuk meninggalkan Malaysia untuk alasan apa pun.
Saling sandera pun terjadi. Pyongyang mengatakan, pihaknya melarang setiap warga Malaysia untuk sementara waktu untuk meninggalkan Korut sebagai jaminan bagi keselamatan para diplomat dan warga Korut di Malaysia. Sementara Malaysia berdalih pencegahan tersebut untuk membantu proses penyelidikan.
Sengkarut ini pun semakin rumit, ketika beberapa negara ikut “memanasi”. Pihak Korea Selatan yang merupakan musuh bebuyutan Korut menuduh bahwa Korut memiliki 5 ribu ton senajata kimia termasuk VX, dan menjadi ancaman serius terhadap keamanan negaranya. Pemerintah Inggris juga menganjurkan agar Malaysia segera mengadukan kasus pemakaian VX ini ke PBB. Bahkan Amerika Serikat telah curiga bahwa VX tersebut telah dijual ke pihak teroris.
Seakan hendak memamerkan kedigjayaannya, Korut pun kemudian melancarkan uji coba rudal balistik jarak jauh. Rudal itu meledak di zona ekonomi eksklusif di wilayah lautan Jepan. Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan pun mengecam keras.
Lalu apa sangkut pautnya dengan Indonesia? Yang jelas, satu orang warga negara Indonesia tersangkut dalam kasus pembunuhan tersebut. Saat ini telah menjadi tersangka dan tengah disidangkan dengan tuduhan berencana, ancaman hukumannya adalah hukuman mati. Pemerintah RI harus berupaya keras melindungi seluruh warga negara Indonesia yang merupakan amanat konstitusi.
Sebagai bangsa dan negara, kita juga harus salut terhadap sikap tegas dan keras pemerintah Malaysia kepada Korut, apapun risikonya. Malaysia tak ingin wilayahnya dipakai untuk ajang pembunuhan. Malaysia tak ingin kedaulatan hukum, harga diri, dan reputasinya diinjak-injak oleh negara lain. ***