Maafkan Mereka yang Telah Memilih Ahok
Oleh : Fadil Abidin
Menurut beberapa lembaga survei, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi pemenang dan melaju di putaran kedua pada Pilkada DKI 15 Februari lalu. Ini sangat mengejutkan, karena status Ahok adalah tersangka kasus penodaan agama. Setidaknya ada empat aksi atau lebih yang dilakukan secara massal agar umat Islam tidak memilih Ahok.
Sekelompok ulama, para habaib, dan tokoh-tokoh Islam telah mengeluarkan “Risalah Istiqlal”, himbauan, anjuran, Subuh berjamaah, dan sebagainya berkali-kali agar umat Islam di Jakarta tidak memilih Ahok. Bahkan dalam aksi 112 di Masjid Istiqlal, ada semacam baiat (sumpah setia) agar jamaah wajib memilih pemimpin dari kaum Muslimin.
Tapi ceramah dan dakwah ini ternyata tidak berarti banyak bagi sebagian masyarakat Muslim di Jakarta. Sebagian mereka tetap memilih Ahok. Maafkan mereka yang telah memilih Ahok. Bukan berarti mereka tidak mendengar seruan atau menentang para ulama atau para habaib.
Jangan menuduh mereka kafir atau kurang beriman. Itu sudah ketentuan Allah SWT. Mau demo seribu kali dengan jutaan umat, miliaran doa dan zikir. Bukan berarti Allah tidak mendengar doa-doa hamba-Nya. Jika Allah sudah berkehendak, apalah daya seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Ketidakpatuhan mereka dalam mematuhi seruan para ustaz, kiai, ulama, atau habib, bukanlah tanpa sebab. Selama ini partai-partai politik Islam, tokoh-tokoh Islam, atau para pemimpin yang beragama Islam telah gagal memberi teladan yang baik. Berita-berita korupsi dan kebobrokan moral lainnya menjadi berita basi di negeri ini.
Allah memutar takdir kita dengan banyak pembelajaran dan hikmah. Umat Islam selalu mempromosikan Islam itu “Rahmat sekalian Alam” Tapi apakah perilaku kita sebagai Muslim sudah mencerminkan sikap itu?
Indonesia ini adalah tempat berkuasanya para munafik. Ketika dilantik menjadi pejabat, di depan ulama dan di atas kepalanya ditaruh Al-Qur’an, mereka bersumpah, “Demi Allah saya bersumpah...” Tapi setelah menjabat, mereka berkhianat dan tidak amanah. Seharusnya para pejabat seperti inilah yang dicap sebagai “penista agama”.
Iman dan Harapan
Maafkan mereka yang telah memilih Ahok. Jangan tuduh mereka kurang iman, Islam abangan, Islam kafiran, atau julukan lainnya yang mengejek. Ajaklah mereka dengan bijak. Mereka bukanlah kurang iman, tapi selama ini mereka telah lelah menaruh harapan pada para pemimpin yang tidak amanah.
Mereka lelah pada pihak-pihak yang selalu berlindung dibalik jubah agama untuk melakukan penipuan. Negeri ini sudah terkenal akan para pejabat dan kepala daerah yang korup. Bersumpah atas nama Allah dan kitab suci pun mereka berani berkhianat.
Hari-hari belakangan ini gejala keretakan umat di negeri Indonesia tercinta ini kian mengkhawatirkan. Saling hina dan caci maki antara kita seolah telah menjadi menu sehari-hari. Orang Indonesia yang dianggap oleh dunia sebagai yang paling ramah, dengan sifatnya yang murah senyum, kini justru telah menjelma menjadi penjual sumpah serapah. Sebuah ironi yang tiada terperi.
Dalam situasi seperti ini, jelas diperlukan orang-orang yang semestinya tampil sebagai penengah sekaligus perekat umat sehingga benih-benih keretakan itu tidak telanjur parah. Luka yang mulai meretas itu tidak keburu menganga. Mereka adalah ulama. Ulama yang sejati-jatinya ulama. Ulama, dalam sejarahnya, kerap menjadi suluh penerang umat. Di saat umat bertikai, mereka segera menjadi payung di mana seluruh umat bisa berteduh di bawahnya.
Keberadaan ulama menjadi sangat penting. Dalam perspektif komunikasi (politik), ulama dapat dikategorikan ke dalam apa yang disebut Dan Nimmo (1993) sebagai pemuka pendapat (opinion leader). Mereka memiliki peran yang sangat penting, terutama sebagai penyampai informasi kepada umat.
Dalam perspektif model two steps flow communication, ulama justru merupakan komunikator yang lebih didengarkan oleh khalayak (umat). Dalam hal ini, pesan-pesan pemerintah seringkali menjadi lebih efektif ketika disampaikan oleh ulama kepada umat.
Tapi, apakah semua ulama mampu memainkan peran seperti itu? Dari sisi das sollen, semestinya ulama bisa melakukannya. Tetapi tentu saja dalam dunia nyata (das sein), kerapkali terjadi kesenjangan dengan dunia idealitas. Karenanya, tidak setiap ulama mampu, misalnya, memainkan peran penengah pertikaian umat. Bahkan, terkadang, sebagian ulama justru menjadi bagian dari pertikaian tersebut.
Bersikap Keras
Banyak yang berargumen bahwa umat Islam tidak boleh diam saja ketika agama Islam dan Kitab Suci Al-Qur’an dihina. Bahkan lebih jauh dikatakan, orang-orang Islam yang diam saja ketika hal itu terjadi, keimanannya patut dipertanyakan. Mereka dianggap tidak punya “ruh jihad” untuk membela agama Allah. Benarkah logika demikian?
Bersikap keras terhadap orang kafir, sebenarnya orang kafir tidak selalu harus non-Muslim. Tidak setiap waktu orang Islam boleh bersikap keras terhadap orang kafir. Itulah kenapa di dalam sejarah Islam awal ada istilah “kafir harbi” dan “kafir dzimmi”. Ketika orang-orang kafir itu terang-terangan memusuhi Islam dan berusaha dengan segala cara untuk menghancurkannya, serta tidak dapat lagi diajak bicara, saat itulah sikap keras orang Islam dapat ditunjukkan.
Demikianlah sesungguhnya perilaku Nabi Muhammad SAW yang kerap diperlihatkan pada masa perang. Nabi tidak pernah memulai perang terlebih dahulu. Perang Badr, Uhud, Khandak, dan lain-lain semuanya dimulai oleh kaum kafir. Bahkan ketika orang kafir akan memerangi, Nabi biasanya memilih menggunakan jalur diplomasi terlebih dahulu, misalnya dengan membuat perjanjian, seperti Perjanjian Hudaibiyah.
Nabi sendiri dikenal sebagai pribadi yang sangat mudah memaafkan bahkan terhadap orang yang telah jelas-jelas melakukan penistaan agama. Misalnya dalam kasus Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah. Abi Sarah sebelumnya mendapatkan posisi yang terhormat. Ia adalah salah seorang penulis wahyu Nabi, tetapi kemudian ia mengubah wahyu tersebut, bahkan kemudian ia murtad atau keluar dari Islam. Menurut riwayat, ketika Fathu Makkah, Abi Sarah bertaubat dan kembali masuk Islam, dan Nabi kemudian memaafkannya.
Bandingkan dengan kasus penistaan agama terhadap Ahok sekarang. Ekspresi kebencian kelompok-kelompok tertentu terhadap Ahok sungguh luar biasa hebat. Seolah-olah Ahok itu penjahat yang super jahat. Bahkan ada yang menyamakannya dengan Fir’aun dan Dajjal. Orang-orang yang pro-Ahok pun terkena imbas dengan tuduhan bermacam-macam.
Ironisnya, para pembenci Ahok secara membabi buta tersebut bukan hanya kelompok masyarakat Islam yang awam, tetapi juga mereka yang dikategorikan sebagai ulama. Ketika para ulama bersikap demikian, maka sulit untuk diharapkan bisa memainkan peran dan fungsinya sebagai pengayom dan perekat umat.
Sebagai pengayom ibarat payung, jelas sudah ada robekan di sana-sini, sehingga payung itu tak lagi mampu menahan tetesan-tetesan air hujan atau panas yang menyengat. Robeknya payung umat, jika tidak segera diperbaiki, akan berbahaya bagi umat di republik ini.
Para ulama yang berperan dan berfungsi sebagai pengayom dan perekat umat sebenarnya masih banyak. Kesabaran mereka sudah teruji, walaupun berkali-kali dibully, diejek, dihina, dimaki, dan sebagainya mereka tetap sabar dan tidak emosional. Ucapan mereka selalu terpelihara dari perkataan yang sia-sia. Inilah ulama yang sebenarnya.
Sekali lagi, maafkan mereka yang telah memilih Ahok. Bukan keinginan mereka menentang para ulama dan habaib. Tapi mereka mungkin menganggap, Pilkada hanyalah permainan politik belaka. ***