Lagu Lama Perdebatan Presidential Threshold
Oleh : Fadil Abidin
Aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) 20% dalam RUU Pemilu kembali diperdebatkan. Politik di Indonesia memang selalu berubah kesepakatan. Hari ini sepakat, lusa sudah tidak sepakat. Tahun 2009 hingga 2014 sepakat dengan penerapan presidential threshold (PT). Tapi untuk Pemilu 2019 para politisi tidak sepakat dengan PT, bahkan dianggap inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan ada yang menyatakan, PT 20% adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia.
Secara logika, jika PT dianggap inkonstitusional, maka terpilihnya SBY dan Jokowi sebagai presiden harus juga dianggap inkonstitusional karena melanggar UUD 1945 dan merupakan lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia?
Perdebatan aturan PT merupakan lagu lama yang selalu berulang setiap menjelang pemilu. Pro-kontra terus terjadi, yang kontra menggunakan bahasa yang sarkastik, “inkonstitusional” hingga “lelucon politik”. Sementara para ahli hukum dan cendikiawan menggunakan istilah “tidak relevan”.
Perdebatan PT kali ini memang “terpanas” dalam sejarah politik Indonesia. Kita patut mempertanyakan, kenapa dulu tidak ramai diperdebatkan? Jawabannya adalah kesepakatan. Pada dua pemilu sebelumnya ada kesepakatan dan kepercayaan diri dari parpol untuk bisa memenuhi syarat PT 20% tersebut.
Pada tahun 2009 sejumlah partai politik mengajukan uji materi atas ketentuan PT 20% karena dinilai bertentangan dengan Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945. Menurut pemohon, ketentuan tersebut diskriminatif karena seolah menyingkirkan partai kecil. Selain itu, pasal tersebut dinilai tidak mengakomodasi pesan demokrasi.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan tersebut dan mengukuhkan ambang batas pencapresan (presidential threshold) dalam UU Pemilu. Menurut majelis hakim, pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. "Amar putusan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Mahfud MD (Kompas.com - 18/02/2009).
Menjelang Pemilu 2014, ketentuan PT kembali diperdebatkan dan digugat ke MK. MK kembali menolak permohonan tersebut dengan alasan open legal policy. Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan presidential threshold merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang dengan tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945. "Itu kan alasannya sudah ada. Masalah yang berhubungan dengan presidential threshold itu adalah kewenangan pembentuk undang-undang supaya menyusun berdasarkan undang-undang. Bukan kewenangan kita untuk boleh atau tidak. Terserah pembentuk undang-undang," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat (Tribunnews.com, 23/1/2014).
Nebis in Idem
Dalam perkara perdata maupun pidana ada asas “nebis in idem” yaitu asas dalam hukum ,yang memiliki pengertian sebagai tindakan yang tidak boleh dilakukan untuk kedua kalianya dalam perkara yang sama, contonya seseorang tidak boleh dituntut untuk kudua kalinya dalam kasus yang sama.
Penulis tidak tahu, apakah asas ini berlaku atau tidak dalam berperkara di MK. Tapi berdasarkan fakta di atas bahwa asas nebis in idem tidak berlaku dalam pengajuan perkara di MK. Sebab perkara yang sama dapat diajukan berulang kali, walaupun perkara tersebut telah diputus secara final dan binding.
Jika bicara soal arti putusan final dan binding pada putusan MK artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Sedangkan arti putusan mengikat dalam Putusan MK yaitu putusan tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sebenarnya jika MK membatalkan PT ketika aturan ini diberlakukan di Pemilu 2009, maka selesailah persoalan. Perdebatan ini tidak akan berulang-ulang. Jika MK tetap konsisten dan bersikukuh bahwa PT adalah open legal policy dan menolak permohonan uji materi tersebut, maka MK akan dituding tidak demokratis dan tuduhan lainnya.
Persoalannya adalah putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengatur pemilu serentak 2019. Putusan ini ditafsirkan oleh banyak kalangan PT tidak relevan lagi, MK pun tidak pernah memberi risalah atas putusan tersebut. Sementara MK ketika diminta pendapat oleh Pansus RU Pemilu menolak memberi keterangan soal PT ini karena dianggap sebagai kewenangan DPR.
Gugatan uji materi soal PT telah dua kali ditolak MK karena dianggap tidak melanggar UUD 1945. Dalam UUD 1945 memang tidak ada aturan atau larangan tentang pemberlakuan PT. Kini gugatan yang sama akan diajukan oleh para pihak dengan dasar gugatan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. MK harus menafsirkan sendiri atas putusannya. Apakah MK tetap konsisten bahwa PT adalah open legal policy atau menjilat ludah keputusannya sendiri.
Produk Politik
Sejak awal, aturan PT adalah produk politik yang kemudian diundang-undangkan. Sebagai produk politik tentu ada motif politik, kompromi, tarik-ulur, penolakan, kalah-menang, kepentingan koalisi-oposisi, dan sebagainya. Politik adalah sesuatu yang dinamis dan berubah-ubah sesuai arah kecenderungan partai politik dan para petinggi parpol.
Sebagai produk politik yang diundangkan tentu sangat rawan gugatan. Implikasinya, setiap ada perdebatan politik di parlemen, maka para pihak yang kalah akan menggugatnya melalui jalur MK. Untuk itu MK harus cermat untuk memilah mana yang merupakan produk politik sebagai open legal policy atau produk legislasi.
Secara pandangan hukum maupun logika, ketentuan PT 20% untuk Pemilu 2019 penulis nyatakan memang tidak relevan dengan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Penulis tidak setuju jika dinyatakan sebagai inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 karena faktanya sudah dua kali pilpres. PT “tidak bermasalah” dengan UUD 1945, tapi ditafsirkan bermasalah dengan putusan MK tersebut. Seandainya tidak ada putusan tersebut, maka PT akan tetap berlaku tanpa bisa digugat.
Penerapan PT memang tidak lazim digunakan di negara yang menganut sistem presidensial. Tidak ada referensi atau acuan di negara manapun. PT adalah produk politik “made in Indonesia” asli yang tidak ada di negara lain. Berlakunya PT merupakan “kecelakaan sejarah” yang dilakukan parlemen yang disetujui MK. MK mempunyai andil besar dalam kecelakaan ini, apakah ingin meneruskan atau menghentikannya.
Sejak awal memang telah terjadi salah kaprah pada saat penyusunan UU parpol dan pemilu. DPR selalu melakukan pembahasan parpol lebih dulu ketimbang pemilu. Akibat dari pembahasan UU partai politik dilakukan terlebih dahulu dibanding UU Pemilu yang terjadi kemudian adalah, UU yang dibuat menjadi dipaksakan agar bisa sesuai dengan UU Parpol yang telah lebih dahulu dibahas.
Idealnya adalah UU pemilu yang dibahas terlebih dahulu, sehingga dari aturan yang dibuat kemudian dipakai sebagai patokan dalam menentukan wajah parpol seperti apa. Jika sistem presidensial yang kita anut, kepartaiannya harus lebih sederhana. Jika yang berlaku mulitpartai idealnya pemerintahannya parlementer. Faktanya sistem pemerintahan presidensial tapi tradisi politik yang berlaku seperti parlementer.
Perdebatan presidential threshold adalah lagu lama yang terus dikumandangkan setiap jelang pemilu. Perdebatan itu harus diakhiri di periode tahun ini, dan semoga tidak diulang-ulang lagi di masa depan. Apa pun keputusannya harus dihormati oleh semua pihak. MK sebagai pemicu kegaduhan dengan dikeluarkannya putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 harus menafsirkan sendiri putusannya.
Jika pada 2009 dan 2014 MK memutuskan presidential threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apakah setelah dikeluarkannya putusan tersebut, PT lantas dianggap melanggar UUD 1945? Apakah MK tetap konsisten dengan kebijakan open legal policy? Kita tunggu saja. ***