Ketidakwarasan Kasus Sumber Waras
Oleh : Fadil Abidin
Waras adalah bahasa Jawa yang artinya sehat lahir dan batin, tidak waras berarti tidak sehat secara lahir dan batin alias gila. Ketidakwarasan mempunyai sinonim kegilaan. Sumber Waras yang seharusnya melahirkan kewarasan justru menimbulkan kegilaan.
Kasus Sumber Waras menimbulkan beberapa gejala ketidakwarasan. Ada yang bertaruh potong kuping jika Ahok berani memperkarakan BPK ke pengadilan. Ada yang menantang duel sampai mati hingga merendahkan suku, agama, dan ras orang lain lewat jejaring media sosial dan mengunggah video ke Youtube.
Bertaruh dengan memotong kuping (telinga) jelas bukan perilaku orang waras yang sebenar-benarnya. Menantang duel sampai mati dan menebar kebencian kepada orang lain bisa dikenakan pidana sesuai KUHP. Bila disebarkan lewat jejaring media sosial bisa dikenakan sanksi sesuai UU ITE. Dan yang “lebih gila” lagi tidak ada aparat hukum yang memproses perkara tersebut.
Kegilaan dengan level tertinggi adalah konstitusi dan Undang-Undang kita yang telah menciptakan sebuah lembaga bernama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK seperti “Tuhan” yang tidak bisa digugat hasil auditnya. Bahkan Prof. Yusril Ihza Mahendra seperti dilansir banyak media menyatakan, bahwa audit BPK tidak bisa digugat ke pengadilan.
“Maha Benar” BPK dengan segala auditnya. Jika ada keraguan akan kebenarannya, maka hanya “Tuhan lain” yang berhak menyelidikinya. “Tuhan lain” itu adalah “BPK” dari negara-negara lain. BPK adalah anggota badan audit internasional. Jadi hanya sesama auditor yang bisa menyampaikan second opinion atas audit BPK.
Dugaan korupsi pada kasus Sumber Waras justru memakan korban pihak yang pertama kali mengauditnya yaitu BPK Jakarta. Efdinal, Kepala BPK Perwakilan Jakarta dicopot jabatannya karena aduan beberapa pihak (termasuk ICW). Dia dianggap menyalahi etika, konon karena dianggap sebagai “makelar” tanah dengan menawarkan lahan ke Pemprov DKI Jakarta yang memang butuh tanah untuk membangun rumah sakit khusus kanker. Ahok justru membeli lahan RS Sumber Waras.
Hubungan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan DPRD yang tidak harmonis membuat hasil audit ini kemudian menjadi amunisi untuk “menembak” Ahok. Beberapa anggota DPRD yang “anti” Ahok melaporkan Ahok ke KPK. KPK tentu tidak mempunyai kapasitas untuk mengaudit, maka KPK meminta BPK untuk melakukan audit investigasi.
Sepaham dengan audit BPK Jakarta maka BPK sepakat bahwa terdapat pelanggaran prosedur dan kerugian negara dalam pembelian lahan rumah sakit seluas 36.410 meter persegi itu. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 191,3 miliar. BPK langsung “memvonis” bahwa ada kerugian negara, dan ini sudah termasuk tindak korupsi.
Menyoal BPK
Pertanyaannya, mengapa BPK langsung “memvonis” ada kerugian negara? Bukankah lebih tepat jika BPK memakai kosakata “patut diduga ada kerugian negara” atau “berpotensi ada kerugian negara”. Sebagai “Tuhan Audit” BPK seharusnya berhati-hati, cermat, dan profesional dalam merilis hasil auditnya. Jika sudah ada kesimpulan merugikan negara, tentu KPK akan langsung mengubah status Ahok menjadi tersangka.
Terhadap “vonis” merugikan negara ini, Ahok cuma berkomentar pedas, BPK ngaco! Kosakata “BPK ngaco!” terngiang-ngiang ke seantero dunia maya maupun dunia nyata. Sebagai warga negara, kita kerap bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Para pejabat sering berpolemik dan saling tuding terhadap sesuatu hal yang tampaknya sepele.
Perkara sepele yang dimaksud adalah mengenai letak lahan RS Sumber Waras dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Polemik soal apakah lahan RS Sumber Waras terletak di Jalan Tomang Utara atau di Jalan Kyai Tapa. Solusinya gampang, publikasikan sertifikat asli lahan tersebut, sertifikat hak milik atau hak guna bangunan (HGB), dan sertakan penjelasan dari lembaga yang berwenang yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPK jangan melangkahi wewenang BPN dalam menentukan letak suatu lahan.
Kemudian soal NJOP, versi BPK, NJOP RS Sumber Waras dengan lokasi di Jalan Tomang Utara, senilai Rp7 juta per meter persegi menurut NJOP 2013. Sedangkan versi Pemprov DKI, NJOP dengan lokasi tanah dengan alamat di Jalan Kyai Tapa, nilainya Rp 20,755 juta meter persegi berdasarkan penghitungan NJOP 2014. Masalahnya, mengapa tidak diminta verifikasi dari Direktorat Jenderal Pajak, sebenarnya NJOP RS Sumber Waras berapa? BPK dan Guberbur Basuki Tjahaja Purnama, bukanlah Dirjen Pajak yang bisa menentukan NJOP.
Kemudian BPK juga merilis tentang “transaksi mencurigakan” bahwa pembelian lahan RS Sumber Waras dengan cek tunai sebesar Rp 765 miliar di malam tahun baru tanggal 31 Desember, adalah mencurigakan dan tidak lazim. Apakah ada dasar hukum pelarangan transaksi pada malam tahun baru? Sejak kapan BPK menjadi PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan) yang berhak menyatakan suatu transaksi mencurigakan?
Sementara BPK saat ini menanggung beban moral karena Ketua BPK Harry Azhar Aziz tersangkut di dokumen Panama Papers. Masihkah BPK sebagaimana diekspresikan dalam moto Tri Dharma Arthasantosha? Lambang Garuda dan cakra emas bermakna keluhuran dan keagungan BPK sebagai lembaga tinggi negara. Adapun warna putih dan kelopak teratai adalah simbol kesucian, kebersihan, dan kejujuran yang harus menjiwai setiap pegawai BPK.
Oleh karena itu, tuntutan bagi pimpinan BPK adalah sosok “setengah manusia, setengah malaikat”. Tuntutan tingkat kesucian dan martabat yang sedemikian tinggi itu membuat masyarakat secara kategoris mengharuskan sosok tersebut seperti itu sangat harus menjaga martabat agar pantas dihormati publik. Keagungan BPK justru terdegradasi oleh ketuanya sendiri.
Ketegasan KPK
Mungkin baru kali ini KPK begitu lama mengambil keputusan tentang suatu kasus. Jika hasil audit investigasi dari BPK cermat dan benar, tentu masyarakat tidak perlu menunggu terlalu lama tentang keputusan kasus ini. Rakyat butuh keputusan, Ahok bersalah atau tidak? Jika Ahok bersalah, segeralah ditangkap dan diadili. Jika tidak bersalah, umumkanlah ke publik agar namanya tidak tersandera.
Kita harus mengubah mindset, BPK bukanlah “Tuhan”. BPK adalah lembaga kumpulan manusia yang bisa saja salah. Tidaklah perlu mengundang “BPK” dari negara lain untuk memberikan second opinion atas audit BPK RI. KPK berhak untuk memakai atau tidak memakai hasil audit BPK dalam penyelidikan maupun penyidikan kasus Sumber Waras.
KPK harus tegas dan segera dalam memutuskan, jangan sampai kasus ini dibiarkan berlarut-larut, menghitung hari, minggu, bulan bahkan tahun? Sebentar lagi Pemilihan Gubernur DKI akan digelar, jangan sampai terjadi kegaduhan politik dan sosial. Di dunia nyata, telah terjadi kegaduhan, beberapa ormas telah mendemo KPK agar segera menuntaskan kasus ini.
Di dunia maya telah terjadi kegaduhan bahkan “ketidakwarasan” yang sangat massif soal kasus Sumber Waras ini. Kejadiannya nyaris sama ketika pilpres lalu. Kini ada pro-kontra kepada Ahok. Masyarakat Indonesia pun “terbelah” menjadi dua di jejaring media sosial, di kolom-kolom komentar berita online, bahkan surat kabar dan televisi juga terbelah dua dalam menyikapi kasus ini.
Membaca sengkarut kasus lahan Sumber Waras setidaknya ada tiga dimensi yang layak diperhatikan, yaitu dimensi teknis-administratif, dimensi pidana, dan dimensi politik. Secara teknis-administratif, soal ini seharusnya lebih mudah diklarifikasi, tinggal dilihat di mana letak alamat lahan tersebut. KPK tentu telah meminta verifikasi dari BPN tentang sertifikat tanah, dan Dirjen Pajak tentang NJOP.
Dimensi pidana dalam hal ini tindak pidana korupsi, memperkaya diri sendiri atau orang lain juga patut didalami. KPK tentu telah bekerjasama dengan PPATK untuk menelusuri transaksi tersebut. Apakah transaksi itu memperkaya Ahok sebagai gubernur DKI atau memperkaya pemilik lahan RS Sumber Waras?
Sebagai penjual, pihak RS Sumber Waras tentu akan menjual dengan harga tinggi dan mendapat untung, dan ini tidak bisa disebut memperkaya diri sendiri dalam definisi korupsi. Jika pun ada kerugian negara, berapa kerugiannya atau malah beruntung. Lahan RS Sumber Waras adalah aset yang akan terus berkembang nilainya setiap tahun. Jika seandainya lahan itu dijual kembali setahun atau dua tahun lagi dan pemerintah mendapat keuntungan ? Apakah ini juga disebut korupsi?
Dimensi politik. Kasus Sumber Waras jelas berdimensi politik menjelang Pigub DKI tahun 2017. Kursi Gubernur DKI Jakarta teramat “seksi” sehingga diperebutkan oleh banyak pihak. Bakal calon yang mendaftar lewat PDIP saja sudah mencapai angka 50 lebih, belum lagi lewat parpol yang lain. Basuki Tjahaja Purnama sebagai petahana dengan elektabilitas tinggi menurut hampir semua lembaga survei, tentu menjadi “musuh bersama” dari para penantangnya.
Siapa yang benar siapa salah? Siapa yang menang siapa yang akan kalah? Akhirnya, siapa yang waras dan siapa yang tidak waras? Kita tunggu saja keputusan KPK. ***