Kapolri dan Hak Prerogatif Presiden
Oleh : Fadil Abidin
Akhirnya, Presiden Joko Widodo menunjuk Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti. DPR melalui Komisi III kemudian akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) kepada Komjen Tito Karnavian.
Timbul pertanyaan, mengapa pengangkatan Kapolri harus melalui persetujuan DPR? Bukankah pengangkatan dan pemberhentian Kapolri adalah hak prerogatif presiden? Dengan adanya fit and proper testcalon Kapolri oleh DPR, bisa saja DPR menolak usulan dari Presiden tersebut.
Penujukkan Tito memang banyak mengejutkan banyak pihak. Selain masih dianggap junior, masih banyak calon lain yang lebih senior. Ketua Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan mengatakan, partainya terkejut atas keputusan Presiden Jokowi menunjuk Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri. Sebab, nama Tito tidak masuk daftar nama yang diajukan Dewan Jabatan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) Polri ataupun Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Wakil Ketua Komisi III DPR ini mengatakan, sepengetahuannya, Wanjakti hanya mengajukan nama Komjen Budi Gunawan, Komjen Budi Waseso, dan Komjen Dwi Priyatno. Sedangkan Kompolnas menambahkan satu nama alternatif lain yaitu Komjen Syafruddin. Trimedya heran kenapa dari empat nama yang dikirim itu, Presiden Jokowi justru memilih Tito (Kompas.com, 16/6/2016).
Sejumlah orang yang mengatasnamakan Masyarakat Pemerhati Kepolisian (Mapol) menggugat keputusan Presiden yang menunjuk Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dianggap telah melanggar UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Presiden dianggap telah menyalahi prosedur pengangkatan Kapolri, penunjukan Kapolri seharusnya berasal dari nama yang diajukan Wanjakti. Pasal 11 ayat (6) menyebutkan calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara RI yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
Mapol khawatir penunjukan Tito sebagai Kapolri akan berimplikasi pada soliditas dalam lembaga kepolisian. Karena nama Tito tidak berada dalam bursa calon Kapolri yang diajukan. Pengusulan Tito sebagai calon tunggal juga dapat merusak regenerasi di kepolisian. Jika Tito terpilih, dia akan melangkahi lima generasi di angkatan lulusan akademi kepolisian (Akpol). Diperkirakan ini akan berdampak pada kinerja polisi yang tidak efektif. Karena hal itu telah menabrak undang-undang dan tradisi organisasi yang berlaku. Presiden seharusnya memperhatikan jenjang karir dan kepangkatan calon kapolri sesuai dengan tata cara dan mekanisme dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Tempo.co, 16/6/2016).
Hak Prerogatif
Jika penunjukkan Kapolri bisa digugat ke Pengadilan dan dapat dianulir oleh DPR, bukankah dalam hal ini hak prerogatif presiden patut dipertanyakan. Apa itu hak prerogatif?
Menurut Thomas Jefferson, hak prerogatif adalah kekuasaan yang langsung diberikan oleh konstitusi kepada seseorang. Sementara Mahfud MD (1999), hak prerogatif Presiden yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain. Menggunakan pengertian ini dan merujuk pada UUD 1945, hak prerogatif Presiden dirumuskan pada Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 17 tentang hak mengangkat dan memberhentikan para menteri. Jabatan Kapolri adalah setara dengan jabatan Menteri yang disebut sebagai pembantu Presiden dalam bidang hukum dan ketertiban, maka seharusnya Presiden mempunyai hak prerogatif untuk memilih atau memberhentikan Kapolri tanpa meminta persetujuan lembaga lain.
Ada kerancuan, sebab hak prerogatif presiden dalam UUD 1945 kemudian ditampikkan dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pasal 11: (1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. DPR bisa melakukan penolakan calon Kapolri tersebut (Pasal 11 ayat 3). Jika calonnya ditolak, maka Presiden harus mengajukan nama calon yang lain.
Berdasarkan UU di atas pengangkatan Kapolri bukanlah hak prerogatif (mutlak) dari Presiden, karena Presiden memerlukan persetujuan DPR. Memang secara fatsoen politik dan konsensus di Parlemen, selama ini DPR belum pernah menolak usulan calon Kapolri yang diusulkan Presiden. Bahkan ketika calon Kapolri tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, DPR tetap menyetujui calon tersebut. Walaupun pada akhirnya Presiden memilih calon lainnya.
Memperhatikan kerancuan ini, sebenarnya Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana pernah mengajukan uji materi Pasal 11 ayat 1-5 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian ke Mahkamah Konstitusi (MK). Denny Indrayana selaku Pemohon menilai UU tersebut telah merugikan hak konstitusional Presiden, karena pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus melalui persetujuan DPR. Denny menilai, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden. Artinya, Presiden punya kekuasaan mutlak soal itu. MK dalam Putusan No. 22/PUU-XIII/2015 menolak uji materi tersebut. MK berpendapat bahwa adanya permintaan persetujuan Presiden kepada DPR dalam hal pengangkatan Kapolri (dan Panglima TNI) bukanlah suatu penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensial. Hal tersebut justru menggambarkan telah berjalannya mekanisme checks and balances sebagaimana tersirat dalam UUD 1945.
Menurut MK salah satu kewenangan konstitusional Presiden adalah mengangkat menteri-menteri negara. Selain itu, Presiden juga memiliki hak prerogatif untuk mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara. Bahwa hal lain yang juga harus dipertimbangkan dalam hal pengangkatan pejabat negara yang memiliki peranan strategis adalah bahwa harus juga dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh aspek akuntabilitas yang dapat dilakukan dengan cara meminta pertimbangan dan/atau persetujuan dari DPR.
MK berpendapat, proses pemilihan pejabat publik bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan publik yang dapat dicapai melalui suatu prosedur pemilihan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Adanya permintaan persetujuan kepada DPR juga merupakan upaya untuk menciptakan dan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Sehingga dapat terpilih sosok pejabat yang betul-betul memiliki integritas, kapabilitas, dan leadership, serta akseptabilitas dalam rangka membantu Presiden untuk menjalankan Pemerintahan. Berdasarkan pertimbangan itu, MK menilai adanya persetujuan dari DPR dalam hal pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI oleh Presiden tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Jabatan Strategis
Jadi Kapolri adalah jabatan strategis seperti halnya jabatan Panglima TNI. Berbeda dengan jabatan menteri dimana Presiden berhak mengangkat dan memberhentikan seorang menteri kapan saja. Maka strategisnya jabatan Kapolri (juga Panglima TNI) memaksa Presiden agar tidak berbuat “sesuka hati” terhadap kedua jabatan tersebut.
Walaupun dalam Pasal 10 UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Tapi dalam praktiknya Presiden tetap berpegang pada UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI jika ingin mengganti Panglima TNI.
Pengangkatan dan pemberhentian Kapolri bukanlah hak prerogatif (mutlak) dari Presiden karena Presiden membutuhkan persetujuan DPR sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Jadi mulai sekarang, janganlah sembarangan menyebut kosa kata “hak prerogatif” Presiden untuk menyebut pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI.
Kosa kata “hak prerogatif” sebenarnya tidak ada tercantum secara legal-formal dalam konstitusi UUD 1945 maupun tersurat dalam UU di bawahnya. Istilah tersebut adalah “kebiasaan lazim” yang dipraktikkan dalam politik ketatanegaraan di dunia. Pranata hak prerogatif bersumber pada hukum tata negara di Kerajaan Inggris.
Menurut pengertian Inggris, istilah prerogatif memang merupakan “residual power” yang semula ada pada raja/ratu yang berangsur-angsur beralih ke tangan parlemen sejak Magna Charta 1215, The Petition of Rights 1627, The Hobeas Corpus Act, The Bill of Rights of 1689, The Parliament Act 1911, Statue of Westminter 1931. Hak ini memberikan keistimewaan bagi penguasa politik untuk memutuskan sesuatu berdasarkan pertimbangan sendiri, bahkan putusan itu bisa dilakukan tanpa alasan apapun, kecuali kehendak pribadi dari sang penguasa itu sendiri.
Pada perjalanannya, hak ini diadopsi banyak negara, termasuk Indonesia. Tetapi sejak digunakan di Indonesia, hak prerogratif ini, tidak diatur secara konkrit dan detail oleh UU. Akibatnya pada masa lalu (baik Orde Lama maupun Orde Baru) presiden memiliki kekuasaan yang luas dan cenderung absolut. Padahal, Lord Acton pernah mengingatkan bahwa, Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Oleh sebab itu, jika hak prerogatif dibiarkan tanpa batasan, hal ini dapat membuat jalannya pemerintahan menjadi sewenang-wenang, tiran, dan cenderung bertindak korup.***