Durov dan Telegram
Oleh : Fadil Abidin
Muda, tampan, jutawan, jenius, eksentrik, dan misterius. Pavel Valeryvich Durov lahir di Leningrad, Uni Sovyet, 10 Oktober 1984. Pada usia 22 tahun Durov mendirikan situs jejaring sosial VKontakte (VK) yang awalnya sangat mirip dengan Facebook dan sudah mempunyai 350 juta pengguna. Durov kemudian disebut sebagai Mark Zukerberg-nya Rusia. Walaupun tidak sekaya Zukerberg, tapi Durov mempunyai ketampanan bak bintang film.
VK dianggap sebagai medsos yang berisikan dan menyebarkan konten-konten anti-pemerintah. Durov terpaksa membiarkan Kremlin mengambil alih VK melalui perusahaan Mail.ru. Durov menolak permintaan pemerintah Rusia atas kontrol VK, kemudian dituduh menabrak polisi lalu lintas di Moskow. Ia membantah tuduhan itu dan mengatakan dirinya tak bisa menyetir mobil.
Durov menolak diperiksa aparat kepolisian dan dianggap sebagai “musuh” pemerintah. Akhirnya hingga saat ini Durov kerap berpindah negara, nomaden dan melanglang buana. Pakaiannya selalu serba hitam layaknya tokok fiksi Neo dalam film The Matrix. Kabar terakhir, ia memegang kewarganegaraan Saint Kitts and Nevis. Sebuah negara antah-berantah yang terletak di Kepulauan Karibia.
Dengan kekayaan yang diperkirakan mencapai USD 300 juta atau sekitar Rp 3,6 Triliun, uang bukan masalah baginya. Sepertinya, ia senang dengan kehidupan bebas, low profile, sekaligus misterius. Tak banyak publikasi soal kehidupan pribadinya.
Pavel Durov dan saudaranya, Nikolai, kemudian membangun Telegram pada tahun 2013. Durov mengklaim bahwa aplikasi pesan lainnya tidak ada yang sebaik Telegram.
Dalam membangun Telegram, Durov mengaku lebih memperhatikan ancaman privasi daripada ancaman teroris. Ia pernah menyatakan, ancaman kematian akibat lalu lintas sejuta kali lebih besar ketimbang ancaman teroris.
Namun ketika ada laporan bahwa teroris ISIS menggunakan Telegram untuk berkomunikasi dan mendapat reputasi buruk akibat terorisme. Telegram pun bergerak cepat dengan memblokir 78 kanal terkait ISIS di 12 bahasa. Kendati demikian, komunikasi pribadi antar anggota ISIS tidak akan terpengaruh. "Teroris akan selalu menemukan sarana komunikasi lain yang aman," ujar Durov.
Telegram
Namanya Telegram, layanan messaging (perpesanan) yang tampaknya biasa saja, mirip-mirip WhatsApp. Tapi Telegram ini membuat pusing aparat di banyak negara. Pihak berwenang Australia saat ini tengah berusaha keras membuka informasi dari Telegram dalam sejumlah kasus serangan teror.
Telegram memang sudah cukup lama menjadi favorit para pelaku teror termasuk ISIS untuk menyebarkan propaganda. Aplikasi chat dengan tingkat enkripsi ketat ini diketahui menjadi alat komunikasi para pelaku dalam sejumlah aksi teror yang terjadi belakangan ini di banyak negara. Pihak berwenang Inggris menyebutkan, serangan yang terjadi di Barking, Borough Markets dan London Bridge saling terkait dan terhubung dengan penggunaan Telegram. Sebelumnya, ISIS juga diketahui mengabarkan pihaknya berada di balik serangan teror di Paris, Rusia, Mesir, Belgia, dan Jerman menggunakan Telegram.
Telegram semakin menjadi pilihan pelaku teror untuk berkomunikasi, mengingat Facebook, Twitter, WhatsApp, dan media sosial mainstream lainnya semakin ketat menyaring akun mencurigakan agar ISIS tidak memanfaatkannya.
Daya tarik utama Telegram adalah, user bisa mengirim pesan terenskripsi yang sangat sulit ditembus. "Fitur Secret Chat di Telegram menggunakan enskripsi end to end, tidak meninggalkan jejak di server kami, mendukung pesan yang bisa self destructing dan tidak bisa diforward. Di atas semua itu, fitur secret chat bukan bagian dari cloud Telegram dan hanya bisa diakses dari perangkat asalnya," begitu klaim Telegram. Fitur enskripsi itu belakangan juga diberikan WhatsApp. Tapi para teroris sepertinya kadung lebih menggemari Telegram.
Indonesia melalui Kementerian Kominfo kemudian memblokir Telegram sejak 14 Juli 2017. Kemenkominfo telah meminta Internet Service Provider (ISP) memblokir akses terhadap 11 Domain Name System (DNS) milik aplikasi pengirim pesan Telegram. Langkah ini dilakukan karena banyak kanal Telegram yang menyebarkan konten melanggar undang-undang seperti propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian hingga cara merakit bom.
Pemblokiran
Pemblokiran ini sempat menjadi trending topic, bahkan ada petisi penolakan, dan pemerintah dianggap menghalangi kebebasan mendapatkan informasi. Tapi di forum internasional pemblokiran Telegram rupanya ingin ditiru sejumlah negara di Asia Tenggara. Menkominfo Rudiantara pernah ditanya apa resep memblokir layanan pesan instan tersebut ketika menghadiri pertemuan “Meeting on Fighting Terrorist Fighters and Cross Border Terrorism” di Manado, Sulawesi Utara. Forum tersebut dihadiri oleh sejumlah negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina dan Australia.
Melihat gelagat pemblokiran ini, CEO dan pendiri Telegram, Pavel Durov, datang sendiri ke Indonesia, tanpa didampingi siapapun. Dengan misi utama membebaskan Telegram dari pemblokiran. Durov berpandangan ke depan, bahwa Indonesia dengan penduduk 260 juta jiwa adalah pangsa pasar pengguna yang potensial.
Kedatangan pria usia 32 tahun asal Rusia itu disambut oleh Menkominfo Rudiantara (01/08/2017). Durov memang datang tiba-tiba, tanpa kabar apapun sebelumnya. Kehadirannya langsung menghebohkan, cuma memakai kaos hitam dipadu celana panjang berwarna sama. Solusi yang ia tawarkan agar pemblokiran dibuka antara lain adalah Telegram berjanji akan sigap mematikan saluran yang berisikan propaganda terorisme atau kejahatan anak. Dan misi Durov sepertinya berhasil.
Indonesia memang sangat penting bagi pebisnis di sektor ini. Pertengahan Oktober 2014 lalu, pendiri dan CEO Facebook, Mark Zukerberg mengunjungi Indonesia untuk bertemu dengan Presiden Jokowi. Kedatangan ini hanya berselang hari setelah Facebook mengakusisi WhatsApp.
Pengguna Telegram secara golabal saat ini sekitar 100 juta, memang masih kalah dengan WhatsApp yang telah mencapai pengguna 1 miliar. Tapi sebagai “pendatang baru” kemunculan Telegram termasuk sangat pesat. Apalagi pertumbuhan Telegram tanpa didukung biaya marketing dan promosi seperti aplikasi lainnya.
Ketika datang ke Indonesia, Mark Zukerberg berjanji akan membuka kantor perwakilan di Jakarta. Ketika CEO Telegram Pavel Durov datang, apakah ada rencana membuka kantor di Indonesia juga?
Meminta Telegram punya kantor perwakilan di Indonesia boleh dibilang mustahil. Pasalnya, di mana kantor pusat Telegram sendiri misterius. Dikutip dari Fortune (3/8/2017), Durov memulai operasional Telegram di sebuah kantor kecil di Berlin, Jerman. Namun staf Telegram saat ini bekerja berpindah-pindah. Mereka selama ini menyewa rumah atau apartemen sebagai kantor, dan akan berpindah setelah beberapa minggu atau bulan.
Staf Telegram bisa saja berkantor di vila di daerah pegunungan, hunian mewah di salah satu sudut kota New York, sebuah hotel di London atau rumah kayu dekat danau di Finlandia. Durov menyebut timnya sebagai pengembara yang hidup nomaden. Telegram diakui Durov terdaftar di sejumlah negara.
Durov menjelaskan, gaya hidup berpindah-pindah ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, ini adalah cara Telegram mencegah perusahaannya terlibat dalam pasang surut kondisi politik dan ekonomi suatu negara. Dia belajar dari kekacauan di Rusia yang mempengaruhi hidupnya dan menyebabkannya kehilangan bisnis pertama yang dirintisnya.
"Saya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama dengan bergantung pada yurisdiksi tunggal. Sebagus apapun tempat itu, Anda tidak pernah tahu regulasi gila apa yang akan diterapkan." Sebuah ungkapan yang telah menjadi trade merk dirinya. Itulah Durov sama misteriusnya dengan Telegram. ***