Bukan Sekadar Penyebar Hoax
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di OPINI Harian Analisa Medan, 07 September 2017
“Sebuah kebohohongan adalah tetap kebohongan. Tetapi kebohongan yang disebarkan secara berulang-ulang, niscaya akan membuat publik menjadi percaya bahwa kebohongan tersebut adalah sebuah kebenaran." Ungkapan yang terkenal dari Joseph Goebbelz, Menteri Propaganda Nazi Jerman.
Pengulangan membuat sesuatu menjadi nyata, jika kebohongan diulangi secara terus-menerus, maka pikiran manusia akan mempercayainya. Kebohongan pun diterima sebagai kebenaran. Industri penyebaran hoax di dunia maya sepenuhnya berlandaskan pengulangan. Para penyebar hoax mempercayai propaganda Nazi tersebut. Penyebar hoax akan mengulangi terus-menerus bahwa informasi yang mereka sebar adalah benar.
Awalnya, barangkali Anda tidak percaya. Tetapi setelah diserang terus-menerus dengan pengulangan, Anda akan luluh juga. Seberapa lama Anda dapat bertahan dan tidak mempercayai berita hoax yang membombardir pikiran Anda? Secara perlahan tapi pasti, Anda akan mulai mempercayai berita tersebut. Cara kerjanya seperti hipnosis.
Adalah pengulangan yang membedakan kebenaran dari kepalsuan. Kerap kali kepalsuan yang diulangi secara terus-menerus diterima sebagai kebenaran. Manusia berpeluang bisa mempercayai apa saja. Ia bisa percaya pada kepalsuan. Ia bisa dibohongi dengan sangat mudah, ia dapat mempercayai apa saja yang diulangi secara terus-menerus.
Tidak ada situs berita hoax yang interaktif. Setidaknya, hingga saat ini belum ada. Semuanya bersifat satu arah. Jika ada yang kritis bertanya atau berbeda pendapat, maka akun tersebut akan diblokir, di-hack, atau bahan dikuasai oleh mereka. Itu adalah salah satu keahlian para penyebar hoax. Di Indonesia, “industri” penyebar hoax semakin berkembang, dan yang terungkap baru satu yaitu dari komplotan Saracen.
Penyebar Hoax
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menilai, kelompok Saracen tak cukup disebut sebagai penyebar hoax. Menurut dia, Saracen layak disebut sebagai penyebar kebencian dan pengadu domba. Oleh karena itu, menurut dia, wajar jika polisi menjeratnya dengan berbagai pasal selain hoax, tetapi juga pasal terkait SARA dan sebagainya (Kompas.com, 29/08/2017).
Penyebaran ujaran kebencian (hate speech) yang dilakukan kelompok Saracen sebenarnya mempunyai banyak dimensi dan melibatkan banyak kepentingan. Dimensi kecewa dan sakit hati karena “jagoan” politiknya kalah dalam kompetisi politik lalu berbuah dendam dan fitnah. Pada awalnya penyebaran ujaran kebencian ini mungkin bersifat sporadis dan tanpa bayaran, karena hanya berdasar pada dendam dan kebencian kepada kelompok lain.
Ujaran kebencian di dunia maya ini dan secara spesifik di media sosial (medsos) kemudian tersebar secara masif. Keadaan kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok orang atau individu untuk kepentingan sosial dan agenda politik mereka. Hoax pun menyebar masif menjelang Pilkada atau Pemilu.
Hukum ekonomi pun berlaku, ada supply and demand. Penawaran dan permintaan melahirkan harga, jika sepakat terjadi transaksi. Lalu “produk” pun dibuat dan dijual, ada produsen dan konsumen, itulah pasar. Para pembayar adalah pemodal, produsen yang memproduksi adalah Saracen, konsumen adalah para pengguna media sosial. Jika dalam pasar yang diproduksi dan didistribusikan adalah barang dan jasa. Maka dalam “pasar” ini, produk dan jasanya adalah hoax dan ujaran kebencian.
Saracen bukan sekadar penyebar hoax. Mereka bukan hanya distributor tapi juga produsesn hoax. Produksi dan distribusi hoax akan terus berjalan selama ada pemodal, produsen, distributor, dan konsumen. Mereka “membisniskan” hoax, ujaran kebencian bersifat SARA, fitnah, ujaran kebencian kepada pemerintah dan orang-orang tertentu, adu domba, penghinaan, dan sebagainya. Ini sangat berbahaya dan luar biasa jahat.
Menurut Kepala Bagian Mitra Divisi Humas Polri Kombes Pol Awi Setiyono, tarif yang dikenakan oleh Saracen untuk memproduksi dan menyebarkan hoax dan ujaran kebencian minimal Rp 72 juta per paket. Biaya tersebut meliputi biaya pembuatan situs sebesar Rp 15 juta dan membayar sekitar 15 buzzer sebesar Rp 45 juta per bulan, dan biaya-biaya lainnya (Kompas.com, 29/08/2017).
Saracen dideteksi memiliki 800.000 akun afiliasi di media sosial. Akun-akun ini ada yang memang akun buatan mereka sendiri, akun yang kemudian bergabung secara sukarela, atau akun yang di-hack untuk dikuasai oleh mereka. Akun-akun yang di-hack ini biasanya adalah akun-akun yang anti kepada mereka atau dari kubu yang berseberangan.
Operator Saracen yang menjadi produsen dan distributor hoax telah ditangkap. Maka tugas kepolisian selanjutnya adalah mengungkap dan menangkap para pemodal dan para pembayarnya. Pada fase ini pihak kepolisian pasti akan kesulitan. Diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak, seperti PPATK untuk menyelidik aliran dana dan para ahli saiber untuk mendeteksi siapa konsumen utamanya. Biasanya para pembayar tentu akan memantau hasil kerja yang telah dipesannya.
Saracen
Menurut Wikipedia, Kata Saracen (dibaca Sarasin) berasal dari bahasa Yunani yang diduga berasal dari bahasa Arab syarqiyyin ("orang-orang timur"). Namun dugaan ini tidak memilik dasar yang kuat. Istilah ini pertama kali dipakai pada awal masa Romawi kuno untuk menyebutkan sebuah suku Arab di Semenanjung Sinai, Mesir. Pada masa-masa berikutnya, orang-orang Kristen Romawi memperluas penggunaan ini untuk menyebut orang Arab secara keseluruhan. Setelah berkembangnya agama Islam, terutama pada masa Perang Salib, istilah ini digunakan terhadap seluruh Muslim (orang Muslim). Istilah ini disebarkan ke Eropa Barat oleh orang-orang Bizantium (Romawi Timur) dan Tentara Salib.
Kemasyhuran nama Saracen tersebar luas semasa Perang Salib. Bahkan Panglima Agung Umat Islam, Salahuddin Al-Ayyubi, oleh pihak Barat disebut sebagai Panglima Perang Saracen, dan para prajuritnya disebut Prajurit Saracen, bukan Prajurit Islam atau Prajurit Muslim. Sebutan ini cukup tepat, sebab dalam barisan prajurit Salahuddin, selain orang Arab, Persia, Kurdi, Afrika, Bangsa Moor, ada juga klan orang Yahudi.
Nama legendaris ini kemudian dicatut oleh sekelompok orang penyebar hoax dan kebencian. Nama Saracen yang dulu mulia kini ternodai dan ternista. Bahkan jika kita sebut “Saracen” maka yang timbul adalah konotasi negatif. Dalam fase ini kompolotan Saracen sebenarnya pantas disebut sebagai penista sejarah Islam.
Penggunaan nama Saracen untuk komplotan penyebar hoax dan ujaran kebencian, menandakan ada niat-niat yang sangat jahat. Mereka seakan-akan sebagai pihak yang menunaikan “tugas suci” seperti Prajurit Saracen di Perang Salib. Mereka membawa bungkus beraroma agama untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan.
Maka sangat pantas jika Saracen disebut bukan sekadar komplotan penyebar hoax. Tapi juga penyebar ujaran kebencian yang bersifat SARA, fitnah, penghinaan, permusuhan, adu domba, dan perpecahan.
Kita harus melawan hoax, melawan propaganda kebohongan yang dilakukan secara berulang-ulang. Hoax adalah hasil pemikiran manusia. Cara termudah mengalahkannya adalah dengan ikut berpikir. ***