Dari Telolet hingga “Fitsa Hats”
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Kolom OPINI Harian Analisa, 9 Januari 2017
Dalam sekejap frasa “Fitsa Hats” yang merupakan produk ‘keseleo lidah’ atau ‘keseleo jari’ ketika mengetiknya menjadi viral dan menjadi trending topic di dunia maya. Frasa fitsa hats sebenarnya mengacu pada produk gerai makanan pizza yang perusahaannya berasal dari Wichita, Kansas, Amerika Serikat. Pizza itu sendiri sebenarnya makanan khas yang berasal dari Italia.
Warga dunia maya atau netizen di Indonesia memang sangat luar biasa. Sedikit saja topik yang aneh atau unik, dalam sekejap mata dalam hitungan jam menjadi trending di media sosial (medsos). Frasa “om telotet om” malah menjadi viral dan trending topic secara global selama beberapa hari di akhir tahun 2016.
Hal ini sangat wajar. Pengguna media sosial di Indonesia, berdasarkan lembaga peringkat Alexa (2015) ada sekitar 60 juta pengguna Facebook (keempat terbanyak di dunia), dan pengguna Twitter sekitar 20 juta orang (ketiga terbanyak di dunia), belum lagi Path, Instagram, WhatsApp, Line, dan sebagainya. Jadi ketika ada frasa yang kerap diulang-ulang disebutkan di media sosial, maka tak ayal akan menjadi trending atau viral di dunia maya.
Frasa secara umum didefinisikan sebagai gabungan dua kata atau lebih yang besifat non-predikatif (tidak ada yang berkedudukan sebagai predikat). Jadi frasa ini bisa berbentuk gabungan kata-kata yang bisa berbunyi apa saja. Semisal “om telolet om”, orang-orang luar negeri tidak mengerti dengan artinya, bahkan ketika mereka melihat kamus sekalipun. Maka ketika di medsos kebanyakan dari mereka bertanya,”What’s the meaning om telotet om?”
Justru ketika mereka bertanya, “Apa itu om telolet om?” Maka frasa ini akan terus-menerus disebut secara berulang secara berantai sehingga mesin pencari di internet (search engine) akan menghitungnya sebagai frasa yang sering dicari, disebutkan atau ditulis di dunia maya. Maka efeknya frasa tersebut akan menjadi trending atau viral.
Gema trending topic atau viral di dunia maya biasanya tidaklah lama. Ada yang hitungan jam, dan paling lama satu hingga beberapa hari. Itulah yang disebut “tren” yang berarti hal-hal yang baru atau mutakhir. Di dunia maya semua hal selalu online dan diperbaharui setiap jam, menit, bahkan detik. Setelah “om telolet om”, maka tren pun berubah ke “fitsa hats”.
Asal Mula
Kita tidak membahas masalah hukum atau politik yang melatarbelakangi sehingga munculnya frasa “fitsa hats”. Frasa ini muncul dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) suatu kasus dugaan penistaan agama di Jakarta. BAP itu sendiri boleh dibilang adalah “kitab suci” dari suatu proses pengadilan. BAP harus steril dari kesalahan, sehingga penulisannya harus hati-hati, cermat, teliti, dibaca berulang-ulang. Bahkan jika salah satu pihak tidak mengerti bisa didampingi pengacara atau penasehat hukum untuk menjelaskan.
Jika tidak sesuai maka, para pihak bisa meminta perubahan bahkan menarik BAP tersebut. Tapi jika sudah sesuai, maka pihak yang bersangkutan dipersilahkan untuk menandatanganinya. Setelah ditandatangani maka BAP itu menjadi dokumen resmi pengadilan dan menjadi dasar tahap berikutnya dalam proses persidangan sehingga sangat tidak dimungkinkan untuk diubah.
Ada tulisan di BAP pemeriksaan salah seorang saksi pada persidangan kasus dugaan penistaan agama yang menerangkan bahwa saksi pernah bekerja di gerai Pizza Hut (mungkin maksudnya seperti itu). Namun penulisan di BAP ditulis dengan “fitsa hats”.
Penulisan ini entah kesalahan dari pihak kepolisian penulis BAP yang tidak tahu cara menulisnya. Atau memang permintaan dari saksi yang notabene memang alergi atau malu karena dulu pernah bekerja di situ, sehingga ejaannya sengaja diubah. Atau memang keduanya tidak tahu?
BAP sebelum ditandatangani memang harus diteliti dan dibaca ulang beberapa kali. Risiko kesalahan penulisan identitas atau keterangan bisa dianggap sebagai pelaporan palsu dan bisa dikenakan pidana seperti yang tercantum dalam KUHAP. Jadi tidak ada alasan bagi pelapor bahwa penulisan itu kesalahan polisi semata.
Terlepas dari siapa yang salah dalam penulisan itu, yang jelas kejadian ini tentu sangat memalukan rakyat Indonesia. Apalagi frasa itu kemudian menjadi viral dan trending topic di dunia. Orang-orang asing akan menganggap kita sebagai bangsa yang kelewat menyedihkan (jika tidak mau disebut bodoh) dalam hal berbahasa Inggris.
Stigma orang luar betapa rendahnya kualitas SDM di Indonesia menjadi benar adanya. Sehingga menulis ejaan asing yang sebenarnya sangat familiar, sering dilihat iklannya, bahkan mungkin sering memakan produk tersebut, bisa salah. Ini bukan sekadar typo, atau salah tulis, tapi lebih kepada bodoh.
Jadi ingat beberapa tahun lalu saat diharuskan kuliah kembali di PSKGJ Unimed. Para mahasiswa yang notabene adalah guru, bahkan ada yang sudah berpangkat PNS golongan IV, yang seharusnya menjadi makhluk yang lebih pintar dari orang di sekelilingnya justru SDM-nya menyedihkan.
Ada beberapa mahasiswa ternyata tidak bisa mengeja kata dalam bahasa Inggris sama sekali. Ketika disuruh dosen mengeja tulisan STYX yang semestinya dieja es ti way ex, diucapkan es ti ye ix, malah ada yang mungucapkan stik. Belum lagi ketika disuruh mengucapkan CHOIR, yang seharusnya dibaca quaier dibacanya khoir. Seperti bahasa Arab saja.
Bukan bermaksud merendahkan atau bahkan sok pintar. Tapi beginilah kualitas SDM kita yang memang harus dibenahi. Jangan salah, mereka bekerja di instansi pemerintah dengan gaji di atas UMP atau UMK dengan segala fasilitas dan jaminan. Sebuah pekerjaan yang banyak diidamkan banyak orang. Bahkan jika perlu didapatkan dengan menyuap, karena pekerjaan ini tidak mudah didapat. Bukan karena faktor ketidakpandaian, tapi lebih banyak karena faktor X.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa mereka yang tidak menguasai bahasa Inggris, minimal secara pasif, adalah warga negara kelas dua di dunia. Ungkapan satire tentu saja, mengingat begitu pentingnya penguasaan bahasa Inggris di era internet yang mengglobal seperti sekarang. “Om fitsa hats om!” Lalu apa kata dunia ? ***