Dari Future Shock ke Sudden Shift
Oleh : Fadil Abidin
Future Shock adalah buku yang ditulis oleh sosiolog dan futurolog terkemuka Alvin Toffler pada tahun 1970. Future shock secara umum diartikan sebagai “kejutan masa depan”, Toffler membuat definisi singkat, kejutan masa depan adalah persepsi dimana "terlalu banyak perubahan terlalu pendek periode waktu".
Kita kerap kali menganggap bahwa suatu teknologi baru akan muncul 20-30 tahun lagi. Tapi tiba-tiba teknologi itu sudah muncul di depan mata. Internet dan telepom seluler (ponsel) 20-30 tahun yang lalu dianggap sebagai teknologi khayalan. Tapi kini keduanya telah berkembang pesat di luar jangkauan imajinasi kita sendiri. Tapi Toffler telah meramalkan 45 tahun lalu.
Berbagai teknologi aplikasi online dan startupjuga membuat kita benar-benar shock, didukung teknologi smartphone yang terus berinovasi. Belanja barang, pesan tiket pesawat, reservasi hotel, pesan taksi hingga ojek semuanya serba online. Tapi yang benar-benar membuat shock secara global adalah munculnya taksi-taksi berbasis online. Keberadaannya nyaris membuat seluruh dunia heboh, demo, ribut, dan rusuh, termasuk di Indonesia. Kejutan (shock) yang seharusnya terjadi di masa depan (future) justru terjadi hari ini.
Future shock berkaitan dengan cara di mana dunia bergerak progresif menuju masa depan yang tak seorang pun dapat sepenuhnya mengendalikan dan sedikit bahkan hanya dapat memprediksi sebagian. Sebagian besar terjadi karena berasal dari revolusi teknologi yang sangat cepat.
Akibat revolusi teknologi, tercipta dunia baru yaitu “dunia maya”. Dunia nyata yang kita tinggali ini terdapat di alam semesta yang tanpa batas. Sampai sekarang dengan ilmu paling tinggi dan teknologi secanggih apappun, belum diketahui batas dari alam semesta ini. Jutaan galaksi, miliaran bintang dan triliunan planet bertebaran di alam semesta ini. Bumi, hanyalah setitik debu di pinggiran galaksi kerdil bernama Bimasakti.
Demikian juga dunia maya, walaupun ciptaan manusia, alam semesta dunia maya juga belum diketahui berapa kapasitas dan batasnya. Kini dunia maya semakin melebar dan meluas, tidak diketahui berapa kapasitasnya. Ukurannya tidak lagi kilobytes, megabytes, gigaytes, terabytes, bahkan mungkin triliunan terabytes. Kapasitas memori komputer, laptop, tablet dan smartphone juga semakin bertambah.
Dulu untuk menyimpan data, kita hanya bisa memakai disket yang berkapasitas sekitar 450 kb (kilobytes), lalau muncul CDR berkapasitas 700 mb, berlanjut pada DVD R berkapasitas 4,7 gigabytes (gb), muncul data traveler seperti flash disc yang berukuran hingga ratusan gb. Kini muncul lagi penyimpan data yang bisa mencapai kapasitas terabytes atau jutaan gigabytes.
Di tengah-tengah masyarakat global kita memasuki sebuah dunia baru yang di dalamnya kegiatan apapun dapat dilakukan dengan tingkat pengalaman yang sama yaitu di dalam jagat maya. Apa yang terjadi dan dialami orang di belahan bumi lain dapat tersaji saat ini juga di sini dan di mana-mana.
Jagat maya itu dianggap lebih menyenangkan dibandingkan dunia nyata. Maka kita pun tenggelam dalam fantasi, halusinasi atau ilusi. Kita pun semakin asyik masyuk dalam jejaring media sosial, bersosialisasi secara virtual, berbelanja online, main game, beselancar di dunia maya, belajar, berlatih, mendapat pengetahuan, berbagi informasi, dan masih banyak lagi.
Tapi, seperti yang diramalkan Alvin Toffler. Keadaan di atas akan mengakibatkan tekanan dan disorientasi hebat yang dialami oleh manusia jika terlampau banyak dibebani perubahan dalam waktu terlampau singkat. Jelasnya bahwa kejutan masa depan bukan lagi merupakan bahaya potensial yang masih jauh tetapi merupakan penyakit nyata yang diderita oleh semakin banyaknya manusia. Kondisi psikologis-biologis ini dapat digambarkan dengan terminologi medis dan psikiatri. Penyakit ini ialah penyakit perubahan .
Penyakit perubahan, menurut Trotsky, manusia yang akan datang itu “manusia akan lebih kuat, lebih pintar, cepat mengerti, badannya akan lebih serasi, gerakannya lebih berirama, dan suaranya lebih merdu. Gaya hidupnya akan mempunyai kualitas yang sangat dramatis dari rata-rata manusia itu akan setingkat Aristoteles, Goethe, dan Marx.
Masa depan pada hakikatnya berada antara realitas dan harapan. Masa depan bagi manusia merupakan suatu yang rumit. Karena terlalu rumitnya masa depan tersebut menjadi sulit diprediksikan dan pada hakekatnya yang menjadi pijakan dari masa depan itu sendiri adalah masa lalu dari apa yang telah terjadi dan masa depan itu sendiri merupakan sebuah realitas yang diharapkan bagi kehidupan manusia. ***