Saling Lapor dan Memakan Ekornya Sendiri
Oleh : Fadil Abidin
Kondisi masyarakat dan bangsa kita saat ini tengah memasuki fase yang mengkhawatirkan. Serangan hoax, ujaran kebencian, fitnah, sikap intoleransi, permusuhan antar ormas, saling kecam, saling lapor dan melaporkan menjadi berita yang kerap tersaji di televisi, dan lebih masif lagi di dunia maya.
Perkembangan teknologi komunikasi, internet dan media sosial menjadikan kondisi semakin parah. Ada anomali di Indonesia, keterbukaan informasi global ternyata tidak membuat kita semakin cerdas, tidak semakin toleran, dan pikiran tidak semakin terbuka. Justru kita semakin mudah tersinggung, mudah merasa dinista, gampang dihasut, mudah membenci, mudah terprovokasi, dan akhirnya mudah menjadi marah.
Fenomena saling lapor dan melaporkan saat ini tengah menjadi tren di tanah air. Gegara ucapan, ceramah, atau pidato, seseorang dilaporkan ke polisi dengan aneka tuduhan dan dugaan. Orang yang dilaporkan pun kemudian balik melaporkan. Pelapor menjadi terlapor, terlapor menjadi pelapor. Seperti benang kusut yang tiada ujung pangkalnya.
Kondisi bangsa Indonesia saat ini persis penggambaran mitos Ouroboros. Ouroboros adalah sebuah mitos Yunani Kuno yang menggambarkan ular atau naga yang memakan ekornya sendiri. Berasal dari dalam bahasa Yunani “oura” yang berarti ekor, dan “boros” yang berarti makan, sehingga berarti 'ia yang makan ekor'.
Ouroboros merupakan simbol pembaharuan siklus kehidupan, ada yang hidup, dan ada yang mati. Kematian dan kelahiran yang selalu berulang tiada berujung. Ouroboros digambarkan sebagai ular melingkar dan memakan ekornya sendiri.
Tapi dalam kehidupan nyata, Ouroboros adalah simbol kesia-sian yang memusnahkan diri sendiri. Ular di alam nyata kadang-kadang berkelakuan seperti Ouroborus dan memakan ekornya sendiri. Namun, tidak seperti makhluk mitos Ouroboros, ular tidak melakukan siklus pembaharuan diri saat memakan dirinya sendiri, tapi hanyalah kesia-sian, bunuh diri. Ular yang memakan ekornya sendiri biasanya adalah ular peliharaan.
Ular berdarah dingin, yang berarti mereka tidak mampu mengatur suhu tubuh mereka. Mereka membutuhkan sumber panas eksternal untuk menghangatkan diri. Tapi jika mereka terlalu hangat, mereka tidak dapat berkeringat untuk mendinginkan dirinya, dan harus mampu untuk mencari perlindungan di tempat yang sejuk, tempat yang teduh.
Jika tubuh ular terlalu panas, mereka dapat menjadi bingung dan mengalami disorientasi. Metabolisme mereka juga tergenjot, menyebabkan mereka memiliki rasa lapar palsu dan keinginan untuk memakan benda pertama yang mereka lihat. Sebagai ular peliharaan, ular biasanya hidup sendiri dan makanan tidak rutin tersedia bagi mereka, mereka akhirnya memangsa diri mereka sendiri.
Ular juga dapat menyerang diri mereka sendiri saat mereka melepaskan kulitnya dan pengelihatannya berkurang, sehingga salah mengidentifikasi ekor mereka sebagai mangsa. Ketika ular mulai memakan dirinya, mengurangi suhu dengan membasahi ular dengan air dingin dapat membantu mengurangi stres dan ular mungkin akan melepaskan ekornya dari mulutnya. Tapi hal ini bisa berakibat fatal. Karena ular telah berevolusi untuk menjebak makanan dan membimbing masuk kedalam perutnya, sangat sulit bagi mereka untuk melepaskan apa yang telah mereka mulai makan. Ular pun pelan-pelan akan mati.
Kehilangan Orientasi
Mungkin kondisi bangsa ini seperti Ouroboros. Bangsa ini mengalami “kegerahan” yang luar biasa sehingga kehilangan orientasi. Kehilangan orientasi membuat semua hal menjadi samar. Seperti pemabuk di pinggir jalan yang meracau tak karuan dan mengganggu siapa saja yang lewat. Mudah tersinggung, semua orang dicaci maki, semua orang diteriaki, dan semua orang diancam.
Disorientasi membuat orang tidak berpikir secara logika, semua orang dianggap salah, mereka dan kelompoknya adalah yang paling benar. Dan lacurnya kelompok-kelompok lain juga berpandangan yang sama. Akhirnya mereka bertengkar di pinggir jalan karena sama-sama mudah tersinggung.
Kita yang mendengar dan kita yang melihat pertengkaran ini pada awalnya menonton dengan penuh keingintahuan. Ada yang kemudian ikut-ikutan dengan memihak salah satu pihak, dan ikut terjun dalam pertengkaran. Tapi ada pula yang berusaha tetap memandang dari kejahuan. Pertengkaran kian seru, sumpah serapah, saling kecam, saling hujat, saling lapor dan melapor. Kita tidak tahu mana yang iblis, dan mana yang malaikat, karena dalam kegaduhan mereka terlihat sama.
Pada awalnya kita anggap biasa saja, dan akan redah dengan sendirinya. Tapi semakin hari, intensitas pertengkaran semakin tinggi dan merembet ke mana-mana. Yang tidak ikut memihak pun dicatut memihak mereka, dengan dalih atas nama. Saya yang tidak ikut pun dicatut oleh mereka atas nama agama.
Tapi lama-lama kita bosan juga, bahkan geram dengan kondisi ini. Sebagai penonton di kejauhan, yang mayoritas ini justru hanya mampu diam. Atau memang sengaja diam karena tak mau terlibat pertengkaran ini. Negara pun seakan tak berdaya, karena semua pihak berlindung atas nama hukum.
NKRI memang harga mati, tapi disintegrasi sosial juga tengah terjadi. Anak-anak bangsa saat ini tengah mengalami disorientasi. Kita tampaknya tengah memusnahkan satu sama lain. Ibarat tubuh, kita seakan melakukan amputasi terhadap anggota badan kita sendiri. Seperti mitos Ouroboros, kita mungkin saat ini tengah memakan ekor kita sendiri. ***