Implikasi Metode Sainte Lague pada Partai Politik
Oleh : Fadil Abidin
Penetapan metode konversi suara menjadi kursi di parlemen mungkin tidak banyak diketahui oleh publik. Bandingkan parliamentary thresholddan presidential threshold yang ramai diperdebatkan dan berujung pada uji materi di Mahkamah Konsitusi. Metode konversi suara nyaris tidak diperdebatkan apalagi diajukan uji materi ke MK.
Padahal salah satu isu krusial dalam pembahasan RUU Pemilu adalah terkait metode konversi perhitungan hasil suara untuk jumlah kursi parlemen yang diperebutkan di masing-masing daerah pemilihan. Perdebatan soal konversi suara menjadi kursi di parlemen mengerucut pada dua opsi, yaitu: Kuota Hare dan Sainte Lague murni.
Mungkin karena dianggap tidak penting atau terlalu teknis-matematis, metode konversi suara ini tidak menjadi perdebatan yang panas di DPR. Padahal metode konversi suara ini bisa menjadi “pencabut nyawa” bagi parpol dalam meraih kursi di parlemen.
Metode penghitungan suara merupakan variabel utama dari sistem pemilu yang bertugas untuk mengkonversi suara perolehan partai dalam Pemilu menjadi kursi di parlemen. Metode penghitungan suara ini paling tidak berpengaruh pada tiga hal, yaitu: derajat proporsionalitas suara, jumlah perolehan kursi partai politik, dan sistem kepartaian.
Pada Pemilu 2014 yang digunakan adalah metode Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP sebenarnya modifikasi dari metode Kuota Hare. Tapi untuk Pemilu 2019, DPR telah menyetujui RUU Pemilu dengan penerapan metode Sainte Lague murni untuk mengkonversi suara menjadi kursi di parlemen. Metode ini dinilai lebih adil dan proporsional.
Metode Kuota Hare dan metode Sainte Lague sebenarnya tidak terlalu berbeda secara signifikan dalam perhitungan hasil akhirnya. Sebagaimana disebutkan dalam namanya, Hare menggunakan kuota sederhana, yaitu jumlah minimal tertentu yang membuat sebuah partai politik dapat memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan.
Sebagai contoh, misalnya di suatu daerah pemilihan terdapat 10.000 suara sah dan jatah 10 kursi, maka kuota untuk mendapatkan satu kursi itu adalah 1.000 suara untuk setiap kursi. Metode ini diciptakan oleh Sir Thomas Hare (1806-1891), seorang ahli hukum Inggris Raya. Metode kuota yang dia buat adalah salah satu upayanya agar dapat menciptakan sistem pemilihan yang dapat menciptakan hasil yang proporsional bagi setiap kalangan.
Ironisnya, metode Hare tidak pernah diterapkan dalam Pemilu Inggris Raya yang hingga kini masih menggunakan sistem "first-past-the-post", atau hanya satu kursi setiap daerah pemilihan. Namun, metode kuota Hare dengan beragam variasinya saat ini digunakan di banyak negara, antara lain di Austria, Filipina, Italia, Korea Selatan, Meksiko, dan berbagai negara Afrika. Indonesia dalam beberapa pemilu juga menggunakan modifikasi metode ini.
Sainte Lague
Sedangkan metode Sainte Lague menggunakan "divisor" atau angka pembagi terkait pendistribusian kursi yang diperoleh oleh setiap partai politik dalam suatu daerah pemilihan. Sainte Lague murni menggunakan rumus seluruh jumlah suara yang masuk dibagi dengan angka pembagi yaitu sistem berbasis rata-rata jumlah suara tertinggi untuk menentukan alokasi kursi dalam suatu daerah pemilihan.
Sebagai sebuah metode perhitungan, Sainte Lague memang dapat dikatakan lebih kompleks dibandingkan dengan kuota Hare yang lebih simpel. Namun, tidak sedikit pula negara yang menggunakan Sainte Lague dengan modifikasinya, seperti Bosnia-Herzegovina, Denmark, Jerman, Norwegia, Swedia, dan Palestina.
Sainte Lague itu sendiri diambil dari nama ahli matematika Prancis Andre Sainte-Lague yang memperkenalkannya dalam artikel yang dituliskannya pada tahun 1910. Sama nasibnya dengan Kuota Hare, metode Sainte Lague juga tidak diterapkan di negara asalnya, karena Prancis hingga saat ini menggunakan sistem dua putaran (seperti Pilkada DKI Jakarta) untuk memilih wakil rakyat di setiap daerah pemilihannya.
Implikasi atau dampak dari penerapan metoda Saint League adalah partai-partai baru harus bekerja ekstra keras menghadapi partai-partai lama yang telah mempunyai basis dukungan. Dan yang pasti akan terjadi perubahan dalam perolehan kursi. Sebagai perbandingan dapat digambarkan sebagai berikut.
Misalkan dalam Pileg 2019 perolehan suara dalam satu dapil dengan alokasi 4 kursi. Partai A memperoleh 220.000, Partai B 100.000 suara, Partai C 30.000 suara, Partai D 25.000 suara, dan Partai E, F, G, H, dll memperoleh jumlah suara 25.000. Jumlah suara sah 400.000, alokasi kursi 4. Maka harga 1 kursi adalah 100.000 suara. Jika menggunakan BPP atau metode Kuota Hare, Perolehan kursi untuk tahap I: Partai A mendapat otomatis 2 kursi sisa suara 20.000, Partai B mendapat 1 kursi sisa suara 0, Partai C dan Partai D mendapat 0 kursi. Pada tahap II, karena masih ada sisa 1 kursi, maka sisa kursi diberikan kepada partai yang mempunyai sisa suara terbanyak secara berurutan. Partai A sisa 20.000 suara, Partai B 0 suara, Partai C 30.000 suara, Partai D 25.000 suara. Maka yang mendapat kursi di tahap II adalah Partai C. Secara keseluruhan Partai A mendapat 2 kursi, Partai B 1 kursi, Partai C 1 kursi, Partai D tidak mendapat kursi.
Padahal selisih suaranya sangat banyak. Suara Partai A 2x suara Partai B, dan 7 x suara Partai C , dan 9 x suara Partai D. Sehingga Partai A akan mengatakan, "Metode ini tak adil, selisih suara berbeda jauh tapi perolehannya hanya selisih 1 kursi." Dengan metode Sainte Lague Murni. Pembaginya bukan kuota kursi tetapi perolehan suara dibagi bilangan pembagi 1,3,5,7 dst, sesuai jumlah alokasi kursi per dapil (daerah pemlihan) untuk urutan masing masing kursi. Jika menggunakan Sainte Lague maka hasilnya sebagai berikut. Alokasi kursi pertama – perolehan suara dibagi 1. Perolehan suara Partai A 220.000/1, Partai B 100.000/1, Partai C 30.000/1, Partai D 25.000/1. Jadi, alokasi kursi pertama untuk Partai A 1 kursi karena memperoleh suara terbanyak. Alokasi kursi kedua – jika telah mendapat kursi di tahap pertama maka perolehan suara dibagi 3, sementara yang belum mendapatkan kursi tetap dibagi 1. Perhitungannya Partai A 220.000/3 = 73.333, Partai B 100.000/1 = 100.000, Partai C 30.000/1 = 30.000, Partai D 25.000/1 = 25.000. Dari hasil ini Partai B mendapat 1 kursi karena memperoleh suara terbanyak dialokasi kursi kedua. Alokasi kursi ketiga. Suara Partai A 220.000/3 = 73.333, Partai B 100.000/3 = 33.333, Partai C 30.000, Partai D 25.000. Jadi 1 kursi untuk Partai A lagi karena punya 73.333 suara untuk kursi yang kedua pada perebutan alokasi kursi yang ketiga. Alokasi kursi keempat – jika telah memperoleh kursi di tahap tiga maka perolehan suara dibagi 5. Perhitungannya Partai A 220.000/5 = 44.000, Partai B 100.000/3 = 33.333, partai C 30.000, Partai D 25.000. Jadi 1 kursi untuk Partai A lagi karena punya suara terbanyak untuk alokasi kursi dapil yang keempat. Maka total akhir perolehan kursi: Partai A = 3 kursi, Partai B = 1 kursi, Partai C = 0 kursi, dan Partai D = 0 kursi. Maka nyata benar perbedaan hasil perolehan kursi jika menggunakan metode yang berbeda. Simulasi
Apakah dengan menggunakan metode Sainte Lague ini lebih menguntungkan partai besar? Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) telah mengadakan simulasi membandingkan hasil Pemilu 2014 dengan menggunakan metode Sainte Lague murni (Antaranews, 23/7/2017).
PDI Perjuangan, misalnya, pada Pemilu 2014 meraih 109 kursi DPR akan bertambah menjadi 110 kursi bila menerapkan metode tersebut. Partai Golkar juga bertambah menjadi 95 kursi dari 91 kursi. Partai Demokrat 61 kursi bertambah menjadi 62 kursi. PPP 39 kursi bertambah menjadi 40 kursi. Partai Hanura 16 kursi bertambah menjadi 17 kursi.
Sebaliknya, Partai Gerindra yang meraih 73 kursi berkurang menjadi 71 kursi. PKB 47 kursi berkurang menjadi 46 kursi. PAN 49 kursi berkurang menjadi 45 kursi. PKS meraih 40 kursi berkurang menjadi 38 kursi. Hanya Partai NasDem yang tidak bertambah maupun berkurang, atau tetap memperoleh 36 kursi di DPR bila menggunakan metode Sainte Lague murni.
Perludem menambahkan bahwa Sainte Lague murni ini lebih menjamin kesetaraan antara persentase perolehan suara dan persentase perolehan kursi. Dengan demikian, lebih ada kesetaraan atau proporsionalitas bagi parpol. Jadi, bukan soal menguntungkan partai besar atau merugikan partai kecil. Akan tetapi, dengan menghitung menggunakan rumus yang tepat agar hasil perolehan kursi di parlemen sesuai dengan asas pemilu yang kita anut, yakni adil dan demokratis.***