1. Unsur Intrinsik dan Karakteristik / Ciri - Ciri Sastra Melayu Klasik
Karya sastra Melayu Klasik adalah hasil dari budaya sastra lama dan masyarakat lama yang berkembang di Melayu. Karya sastra Melayu, memiliki unsur intrinsic yang tidak jauh beda dengan unsur karya sastra modern. Unsur-unsur tersebut antara lain tema, amanat, latar/setting, penokohan, sudut pandang, dan nilai-nilai kehidupan.
Karya sastra Melayu juga memiliki karakteristik yang mirip dengan karya sastra lama. Karakteristik tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Bersifat khayal atau pralogis.
Cerita dalam dongeng umumnya bersifat khayal yang sulit diterima oleh akal sehat/dinalar.
2. Istana sentris
Dalam dongeng biasanya menceritakan tentang kehidupan di sekitar istana. Cerita yang diangkat adalah seputar kehidupan raja, permaisuri, pangeran, putri, dan lingkungan di sekitar istana.
3. Bersifat statis
Cerita yang ditampilkan tidak ada variasi, dari awal cerita menuju ke akhir cerita yang dikisahkan hanya monoton. Bahkan hampir sama dengan cerita dengan tokoh versi yang lain.
4. Bahasanya klise
Bahasa dalam dongeng biasanya dimulai dengan kata: pada, suatu hari, syahdan, laksana, bak, titah, hatta, dan sebaginya.
5. Mengandung unsur pelajaran dan budi pekerti.
6. Berkembang secara lisan dan turun temurun.
7. Dipengaruhi oleh budaya Islam (Arab) dan Hindu.
Salah satu bentuk sastra Melayu klasik adalah hikayat. Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian, serta mukjizat tokoh utama.
Hikayat merupakan salah satu jenis sastra Melayu yang sangat terkenal. Bahkan hikayat dapat menunjukkan puncak dari keindahan dan keagungan.
2. Contoh Hikayat
Bacalah hikayat berikut ini dengan saksama!
Si Panjang dan Si Bungkuk (Hikayat Masyhudulhak)
Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhak pun besarlah. Kala kian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari ada dua orang laki-istri berjalan. Sampailah ia pada suatu sungai. Maka dicarinya perahu untuk menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka dinantinya kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tidak juga ada lalu perahu orang maka ia pun berhentilah di tebing sungai dengan istrinya. Istri orang itu terlalu baik parasnya.
Sebaliknya suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, “Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?”
Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sungai itu. Maka kata orang tua itu, “Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya.” Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu sukalah, dan berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali ini!”
Maka Bedawi itu pun turunlah ke dalam sungai merendahkan dirinya hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah kedua ini. Maka, kata Bedawi itu, “Sebagaimana hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh karena air ini dalam.”
Maka kata orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi. Kata orang Bedawi itu,”Berilah barang-barang bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan.” Maka diberi oleh perempuan itu segala bekalnya. Maka dibawanya perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu supaya dikata oleh si bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, “Akan tuan itu terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu,
agar tuan hamba ambil, hamba jadikan istri hamba.”
Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah hamba turutlah kata tuan hamba itu.”
Maka sampailah ia keduanya ke seberang sungai. Maka mandilah, setelah
sudah maka makanlah keduanya dengan segala perbekalan itu. Segala kelakuan
semuanya dilihat oleh si Bungkuk segala kelakuan perempuan itu dengan Bedawi.
Maka heranlah orang tua itu dan berkata dalam hatinya, “Daripada hidup
melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati.”
Maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia karena sungai itu
airnya tidak dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi
itu. Sampailah ia ke dua dusun tempat Masyhudulhak. Maka orang tua itu
mengadu kepada Masyhudulhak. Maka disuruh oleh Masyhudulhak panggil
Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Maka kata
Masyhudulhak, “Istri siapa perempuan ini?”
Maka kata Bedawi itu,”Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba
pinangkan; sudah besar dinikahkan dengan hamba.”
Maka kata orang tua itu,”Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.”
Dengan demikian, jadi bergaduhlah mereka itu. Dan gemparlah. Maka orang
pun berhimpun datang melihat mereka itu ketiganya. Maka bertanya
Masyhudulhak kepada perempuan itu, “ Berkata benarlah engkau, siapa suamimu
antara dua orang laki-laki ini?”
Maka kata perempuan celaka itu, “Si panjang inilah suami hamba.”Maka
pikirlah Masyhudulhak, “Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya
ketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.”
Semoga dengan adanya Unsur Intrinsik dan Karakteristik / Ciri - Ciri Karya Sastra Melayu Klasik Serta Contoh Hikayat ini kalian bisa memahami unsur intrinsik,
ciri-ciri sebuah karya sastra melayu klasik, dan seperti apa itu hikayat. Terimakasih telah membaca
Unsur Intrinsik dan Karakteristik / Ciri - Ciri Karya Sastra Melayu Klasik Serta Contoh Hikayat.