Menghormati Orang (Tidak) Berpuasa
Oleh : Fadil Abidin
Apa salah Ibu Saeni? Warung jualan nasinya dirazia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Serang, Banten. Ibu Saeni dianggap melanggar Peraturan Daerah (Perda) Kota Serang yang melarang berjualan makanan/minuman di siang hari selama bulan Ramadan. Ibu Saeni hanya bisa pasrah sambil menangis sedih ketika beberapa anggota Satpol PP menyita barang-barang dagangannya.
Razia yang dilakukan Satpol PP tersebut memang kurang simpatik, bahkan agak “overacting”. Warung kecil Ibu Saeni yang menjual makanan sebenarnya tidak mencolok, tapi terkena razia juga. Nasi, sayuran, dan lauk pauk dagangan Ibu Saeni disita secara semena-mena. Video razia ini pun menjadi viral di dunia maya setelah beredar di Youtube.
Akibat barang dagangannya disita, Ibu Saeni mengalami kerugian, ia sempat dikabarkan jatuh sakit dan terhutang uang. Aksi simpati dan penggalangan dana pun bergulir. Netizen mengumpulkan dana untuk membantu Ibu Saeni. Sampai tulisan ini dibuat (12/06) berhasil dikumpul uang sekitar Rp 265 juta.
Presiden Jokowi secara pribadi memberi sumbangan Rp 10 juta. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo juga ikut membantu. Tjahjo menilai cara yang diterapkan Satpol PP Serang untuk merazia warteg yang buka siang hari kurang simpatik. Bahkan Tjahjo menghimbau kepada kepala daerah agar tidak mengeluarkan Perda yang kontroversial.
Perda yang melarang berjualan makanan dan minuman di siang hari selama Ramadan, pada awalnya dikeluarkan untuk menghormati umat Muslim yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan. Tapi, dalam hukum Islam sendiri tidak ada larangan bagi setiap Muslim untuk tetap bekerja dan berusaha berjualan makanan atau minuman di siang hari selama Ramadan. Secara hukum positif, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bisa menjadi dasar bagi larangan tersebut.
Jika alasannya toleransi, hal tersebut harus dilihat sebagai bagian dari seruan untuk saling menghormati. Setiap orang dipersilahkan saja membuka warungnya selama bulan Ramadan, sepanjang tidak demostratif “memamerkan” kegiatan makan-minum di dalamnya. Selama ini penulis menilai bahwa penghormatan tersebut sudah berjalan dengan baik. Warung nasi, kedai nasi, rumah makan, bahkan gerai fast food modern di pinggir jalan atau dalam gedung mal, telah menutup etalase, pintu dan jendelanya dengan tirai.
Tidak ada ceritanya, gara-gara warung yang buka saat bulan Ramadan secara langsung mempengaruhi umat Islam membatalkan puasanya. Kalau pun itu terjadi berarti kadar iman orang tersebut sangat lemah sehingga mudah tergiur oleh aneka makanan yang dijual.
Menjaga Puasa
Selain belajar mengendalikan hawa nafsu, puasa mendidik setiap Muslim untuk sabar dan bersyukur. Rasulullah SAW justru menganjurkan kepada umatnya ketika berpuasa untuk tidak menarik diri dari masyarakat, bekerja seperti biasa untuk mencari rezeki yang halal. Beliau justru mengecam orang-orang yang berpuasa, lalu mengasingkan diri, bertapa di tempat sunyi, tidak bekerja untuk menghidupi keluarganya karena ingin merasa lebih khusyu’ ketika berpuasa.
Kita justru harus bersyukur ketika menjalankan ibadah puasa banyak saja godaan, halangan, tantangan, dan tawaran menggiurkan yang mencoba membatalkan puasa kita. Rasa syukur kita juga semakin bertambah, ketika melihat orang-orang lain yang tetap berpuasa kendati bekerja keras sebagai kuli atau buruh pabrik, badan berpeluh keringat, tenggorokan kering, perut lapar, dan tenaga yang terkuras habis.
Kita patut “iri” dengan puasa para kuli tersebut. Mungkin saja “deposito” pahala puasa mereka lebih banyak ketimbang pahala puasa kita, karena kita menjalankannya dengan mudah. Bekerja di belakang meja, tempat kerja berpendingin udara, dan terkadang bisa bermalas-malasan.
Selalu ada terlintas dalam pikiran kita, saya sedang berpuasa tapi mengapa orang-orang di sekeliling saya tak menghormatinya? Mengapa umat Muslim yang mayoritas ini tidak bisa menerapkan peraturan seperti di Pulau Bali? Setiap Nyepi, siapapun dan beragama apapun di Pulau Bali harus ikut pula “nyepi”.
Sementara ketika Ramadan, warung-warung dan kedai nasi tetap buka, banyak orang berlalu lalang merokok atau makan-minum di pinggir jalan. Itulah godaan hawa nafsu, bisakah kita menahan amarah dan menahan sifat buruk sangka kita?
Umat Muslim karena menjaga puasanya harus bisa menghormati orang-orang yang tidak berpuasa. Dan orang-orang yang tidak berpuasa harus menghormati pula orang-orang yang berpuasa. Saling mengormati, bukan karena orang-orang yang berpuasa “gila hormat”. Tapi posisikan diri, seandainya saya berpuasa juga, merasakan lapar dan haus seperti mereka yang berpuasa. Tentu saya akan menghormati mereka yang berpuasa.
Saya punya pengalaman menarik. Sekitar 10 tahun lalu, sehabis shalat Jumat di bulan Ramadan, saya mendapat SMS dari istri. Ia ingin sekali makan nasi rendang. Saya pun langsung pergi dengan mengendarai sepeda motor menuju ke sebuah rumah makan Padang. Ketika saya memesan satu bungkus nasi rendang, orang-orang yang sedang makan di situ terkejut melihat saya.
Mereka mungkin berprasangka, ini orang berpeci, berkain sarung, dan berbaju koko. Tapi siang-siang di bulan puasa begini beli nasi bungkus? Saya baru sadar dengan keadaan saya ini. Saya tidak ingin berburuk sangka dengan mereka, dan saya pun tak ingin mereka berburuk sangka kepada saya. Dan untunglah ada tetangga sebelah rumah (non-muslim) yang menegur, ”Buat siapa nasi bungkusnya?”
Saya pun menjawab lega, “Nasi bungkus ini buat istri. Dia lagi ngidam ingin makan rendang.” Tanya dia lagi, “Sudah berapa bulan?” “Tiga bulan,” jawabku. Orang-orang di rumah makan itu pun mengangguk mengerti.
Ketika mengandung anak pertama, istri memang mengalami “sakit hamil” yang parah, sehingga tidak jatuh hukum wajib puasa kepadanya. Setiap hari nyaris muntah-muntah, sakit, badan lemah, dan tidak bisa berbuat apa-apa, termasuk memasak. Dan untung saja selama Ramadan masih banyak rumah makan yang tetap berjualan. Sehingga kami tidak kerepotan mencari makanan.
Prasangka Baik
Intinya adalah, kita jangan berburuk sangka ketika seseorang mampir di rumah makan di siang hari bulan Ramadan. Bisa saja ia lagi membelikan nasi bungkus untuk istri yang sedang hamil, untuk ibunya yang sudah uzur, atau untuk anaknya yang masih kecil. Puasa tidak wajib bagi orang yang sakit, sudah uzur, anak-anak yang belum baligh, perempuan yang sedang menstruasi, hamil, baru melahirkan (nifas), dan ibu menyusui.
Bagi seorang suami, ketika istri sakit atau ada halangan lain, tentu akan kerepotan menyediakan hidangan makanan berbuka. Dan itulah fungsi dari rumah makan! Membuka warung makan adalah hak setiap orang untuk menafkahi keluarganya. Ketika warung atau rumah makan ini diwajibkan tutup selama Ramadan. Dari mana mereka akan mendapatkan rezeki untuk menafkahi keluarga dan mendapatkan uang untuk keperluan Lebaran?
Orang-orang yang berpuasa pun masih berkepentingan dan memerlukan tetap beroperasinya rumah makan selama bulan Ramadan. Dengan demikian, jika ada warung makan atau restoran yang tetap buka di siang hari pada bulan puasa, jika dalam konteks memfasilitasi orang-orang yang tidak berpuasa, maka tentu kita harus bersyukur. Karena masih ada kepedulian terhadap mereka yang tidak berpuasa. Tentu saja dengan syarat tidak menampilkan kegiatan makan-minum secara terbuka dan demonstratif, tetapi dengan tetap menjaga dan menghormati mereka yang berpuasa.
Mereka yang tidak beragama Islam dan umat Islam yang tidak wajib berpuasa tentu membutuhkan makan pada siang hari. Jika semua warung dipaksa tutup, mereka yang tidak berpuasa akan kesulitan untuk mencari makanan. Adanya Perda larangan tersebut, justru seolah meragukan keimanan umat Islam.
Sehingga akan muncul anggapan bahwa dengan adanya warung yang buka akan menjadi pemicu seseorang untuk membatalkan puasanya. Apa mereka kira keimanan umat Islam itu lemah dan hanya setipis kulit bawang?
Kita harus mengembangkan sikap dan prasangka positif (husnudzon) terhadap perbedaan, baik itu suku, agama, ras, golongan, dan jenis kelamin. Meniadakan perbedaan adalah sesuatu yang mustahil. Karena itu kita diperintahkan untuk bersikap positif dalam menerima perbedaan. Tidak sekadar menerima perbedaan koeksistensi sosiologis, tetapi memahamai sumber-sumber perbedaan dan menerima mereka yang berbeda sebagai bagian integral masyarakat.***