Brexit, Trump, dan Macron
Oleh : Fadil Abidin
Referendum Brexit di Inggris, pemilu presiden Amerika Serikat, dan pemilu presiden Perancis, sebenarnya adalah pertarungan antara globalis melawan nasionalis. Pro-Brexit dan Donald Trump yang dianggap “anti-globalis” berhasil menang. Dunia pun dilanda kecemasan akan terjadinya efek domino, dimana negara-negara adidaya hanya akan mementingkan nasionalnya belaka dan tidak ramah terhadap kaum imigran.
Pemilu presiden Perancis (7/5/2017) menjadi penentu apakah efek domino tersebut akan terus berlanjut. Pertarungan pemilu presiden Perancis antara Emmanuel Macron melawan Marine Le Pen, merupakan pertarungan antara pendukung globalis yang mendukung perdagangan terbuka dan pro-imigran melawan nasionalis yang mempertahankan perbatasan yang kokoh, identitas negara, dan anti-imigran.
Pada referendum Brexit 23 Juni 2016 di Inggris, pro-Brexit memenangkan kebijakan “anti-globalis” untuk keluar dari Uni Erupa. Efek Brexit akan membatasi kaum imigran yang datang, membatasi orang-orang asing yang bekerja di dalam negeri, dan lebih mengutamakan warga Britania Raya dalam hal apapun.
Pada pemilu presiden Amerika Serikat pada Nopember 2016 lalu juga dimenangkan oleh Donald Trump. Calon presiden yang dianggap kontoversial dengan semboyan “American first” – dahulukan Amerika. Trump berencana akan membatasi dan mengawasi semua imigran, terutama yang beragama Islam dan berasal dari Timur Tengah. Selain itu Trump akan membangun tembok sepanjang perbatasan, agar imigran dari Meksiko tidak dapat masuk secara ilegal.
Semboyan American first, memang benar-benar diterapkan oleh Trump dengan mendahulukan kepentingan Amerika dan warga Amerika di seluruh dunia. Baik politik, sosial, ekonomi, perdagangan, pertahaanan dan keamanan. Trump pun memberi peringatan agar perusahaan Amerika di luar negeri untuk kembali beroperasi di Amerika agar tercipta lapangan kerja baru di dalam negeri.
Sentimen Negatif
Setelah kemenangan pro-Brexit dan Trump, tampaknya ideologi nasionalis kembali mewabah. Seiring semakin meningkatnya aktivitas terorisme di kawasan Eropa, maka banyak warga yang meningingkan agar pergerakan kaum imigran dari wilayah-wilayah konflik di Timur Tengah dan Afrika dibatasi.
Perancis yang selama ini sangat terbuka terhadap para pendatang mengalami masalah, baik masalah ekonomi dengan semakin sulitnya lapangan kerja, aksi-aksi teror yang semakin meningkat, meningkatnya kejahatan, kecemburuang sosial, dan lunturnya identitas Perancis sebagai bangsa.
Hal inilah yang memicu semakin meningkatnya aksi sentimen anti-imigran. Sentimen ini kemudian dimanfaatkan para politisi untuk meraih dukungan rakyat. Marine Le Pen tahun ini boleh saja kalah dari Macron dalam perebutan kursi presiden Perancis. Tapi pendukung Le Pen setiap tahun semakin bertambah. Sejak dari awal, Le Pen menjadi pendukung Brexit dan Donald Trump.
Kendati Le Pen kalah, ia dan partainya berhasi mencetak sejarah baru. Selama ini Partai Barisan Nasional yang mengusung semangat patriotisme dan nasionalisme adalah partai gurem, tak pernah meloloskan calonnya di pilpres. Partai ini selalu kalah di tahap awal. Partai yang punya program ingin menghentikan kedatangan imigran ke Perancis serta keluar dari Uni Eropa itu selalu tak memenuhi ambang batas perolehan suara.
Baru beberapa tahun terakhir sejak meningkatnya serangan teror di Perancis dan jumlah migran yang terus meningkat, Partai Barisan Nasional mulai mendapatkan dukungan dari warga. Khususnya mereka yang tinggal di pedesaan dan daerah pinggiran kota. Dengan perolehan suara sebanyak 34 persen atau 11 juta pemilih, kekuatan partai nasionalis pimpinan Le Pen ini tak bisa diremehkan.
Jika pendukung Le Pen solid dan militan. Maka pendukung Macron ternyata tidak solid. Macron telah menegaskan dirinya bukan politisi kiri maupun politisi kanan. Kendati pernah menjadi kader partai kiri saat menjabat Menkeu Perancis, tapi ketika mencalonkan diri sebagai capres, Macron tak terkait dengan partai apapun. Dia adalah calon independen setelah mengundurkan diri dari partai petahana.
Namun dari segi kebijakan ekonomi, Macron adalah pendukung neoliberalisme. Untuk masalah lainnya, dia cenderung sebagai sosialis. Hal inilah yang membuat warga Perancis menjadi bingung dengan ideologi politiknya. Kubu politik kiri menolak memilih Macron dan juga menolak memilih Le Pen. Tingkat golput pun menjadi tinggi.
Tingginya angka golput, membuat persentase dukungan kepada Le Pen semakin meningkat. Le Pen yang dahulu tidak dilirik sama sekali karena dianggap anti-imigran, anti-globalis, dan anti-Uni Eropa kini semakin mendapat dukungan rakyat.
Efek Domino
Sebagian rakyat Perancis mungkin berpandangan negatif terhadap kaum imigran. Mereka telah terbuka dan menerima kaum imigran yang berasal dari negara-negara konflik. Tapi apa yang terjadi? Aksi-aksi teror kerap terjadi di Perancis, para teroris membonceng di antara kaum imigran untuk menebarkan teror. Air susu dibalas air tuba.
Sentimen-sentimen negatif inilah yang membuat popularitas Le Pen semakin meningkat dan terus mendapat dukungan rakyat. Dan ini bisa menjadi ancaman serius di tahun-tahun yang akan datang. Mungkin saja Perancis suatu saat akan menerapkan kebijakan tertutup terhadap imigran maupun pengungsi dengan alasan ekonomi dan keamanan dalam negeri.
Kemenangan Brexit dan terpilihnya Donald Trump secara tidak langsung merupakan dampak dari globalisasi yang dianggap merugikan negara adidaya tersebut. Inggris dan Amerika Serikat mengalami masalah pengangguran terparah dalam satu dekade ini akibat semakin banyaknya pengungsi ataupun imigran yang datang.
Perancis pun mengalami hal yang sama. Salah satu masalah utama adalah pengangguran, yang mencapai hampir 10 persen dan merupakan yang ke-8 tertinggi di antara 28 negara anggota Uni Eropa. Perekonomian Prancis melambat sejak krisis keuangan 2008. Para imigran dan pengungsi kemudian yang dijadikan kambing hitam oleh para politisi untuk mendapat dukungan rakyat.
Sebelum pilpres, Perancis diramalkan akan mengikuti Brexit dan Donald Trump, dengan Le Pen sebagai pemenangnya. Brexit, Trump, dan Le Pen akan menjadi trio adidaya yang dianggap anti-imigran dan anti-globalis. Tapi efek domino tersebut ternyata berhenti dengan kemenangan Macron. ***